Sabtu, 02 November 2013

Prologue

Disclaimer: SEVENTH HEAVEN belongs to Rejet. OCs belong to their respective owners
Rating: T (Tidak tetap)
Warning: OC, OOC, kesalahan dalam berkata-kata, dsb.


Lari.
Adrenalin berpacu deras didalam setiap urat-urat di tubuh lelaki itu.
Bodoh!! Dasar iblis keparat!
Seakan tidak terganggu oleh kelelahan yang membebani kakinya untuk terus berlari menembus pepohonan-pepohonan rimbun, lelaki itu masih bisa mengumpat sendiri. Rambutnya yang awalnya klimis sudah tidak berbentuk lagi. Kemeja hitam dan celana bahan hitamnya dekil akibat kotoran dan debu yang berterbangan.
Iblis sialan! Sialan!’ batinnya masih menyumpahi entah siapa. ‘Aku bersumpah… Jika aku bisa keluar dari sini hidup-hidup–
Umpatannya buyar ketika sebuah api merah melesat menggores pipinya, meninggalkan bekas merah terbakar. Setengah senti lagi, dan mungkin seluruh bagian kanan kepalanya sudah hangus oleh api itu.
Laki-laki itu menoleh kebelakang, berusaha melihat penyerangnya. Mata kuning menyalanya membulat saat melihat sosok berambut merah menyembul dari pepohonan yang baru saja ia lewati; fitur yang sama persis dengan penyerangnya tadi.
“Mau kemana kau, brengsek?!” ejek si penyerang. “Kau pikir kau bisa kabur, hah?!”
Si laki-laki hanya menggertakkan giginya.
Sial! Cepat juga bocah merah itu!
Sekarang, setelah berada di dalam sebuah situasi yang mendesak seperti ini, laki-laki itu baru merasakan akibat dari perkataan yang keluar dari mulutnya sendiri. Dalam hati Ia merutuki dirinya di masa lalu yang mau termakan ledekan dari teman-teman kerjanya. Ia tidak pernah menyangka, bahwa lawannya akan sekuat dan setangguh ini. Jika tahu itu, mungkin ia akan membawa pasukan tambahan untuk berjaga-jaga.
….Terpaksa. Harus kukeluarkan yang satu itu.
Laki-laki itu tiba-tiba berhenti di salah satu dahan, menghadap si penyerang yang memasang wajah bingung. Wajahnya tampak khidmat membaca doa sambil melakukan beberapa gestur dengan tangannya.
“Hei! Mau berdoa kau?!” si penyerang mengejek semakin menjadi-jadi. Si laki-laki hanya berusaha mempertahankan emosinya, fokus pada satu titik.
Lalu, dengan sekali tepukan tangan, laki-laki itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah monster singa yang besar. Bulunya hitam legam, dengan taring yang berkilauan dibawah sinar rembulan. Laki-laki itu—yang sekarang sudah menjadi sebuah monster berdiri tegak di kedua kaki singanya. Sebuah pemandangan yang cukup menakutkan untuk dilihat pada malam hari.
Namun, bukannya takut, sang penyerang malah tersenyum senang.
“Kau kira aku takut dengan hal semacam itu, hah?! NAIF!”
“Jangan gegabah, Uno.” Sebuah sosok tegap berambut cokelat susu menyembul dibalik kegelapan, lalu berdiri disamping si penyerang berambut merah. “Biarkan Decimo yang melakukannya. Ini keahlian dia.”
Satu lagi!’ batin si monster. Apakah ia akan berakhir sampai disini? Padahal ia sudah berjanji akan membunuh teman-temannya yang mendukungnya untuk menjalankan misi bunuh diri itu. Kemarahannya memuncak. Sudah cukup ia dipermainkan hari ini.
Dengan sekali hentakan kaki dari monster itu, tanah disekelilingnya langsung bergetar hebat. Pohon-pohon berumur puluhan tahun yang kokoh langsung ambruk menimpa bumi, diikuti dengan pepohonan lain dibelakangnya.
makan itu, dasar bocah sialan!’ rutuk si monster, bibirnya membentuk senyum kemenangan begitu melihat ekspresi wajah kedua penyerangnya tadi yang sedikit panik.
Nyatanya, senyum kemenangan itu pudar saat ia melihat satu lagi bayangan berambut biru terang melesat menembus pepohonan yang bergerak hebat. Pemuda itu langsung mendarat di tanah dengan berlutut sambil meninju bumi.
“Maaf, aku terlambat.” Ucapnya pelan, lalu berdiri. Tiba-tiba, bekas tinju si pemuda barusan menimbulkan keretakan, yang merebak dengan cepat menuju kearah posisi monster itu. Tanah dibawah kaki si monster pun langsung amblas, menyebabkan si monster terperosok jatuh.
“Tredici. Giliranmu.”
Belum sembuh dari kekagetannya, tiba-tiba si siluet lain—berbentuk seorang wanita muda, menembus pepohonan. Wanita itu membentuk sebuah gestur dengan tangannya dan muncullah sebuah angin puyuh didepannya, menyapu bersih apa yang menghalangi jalannya.
Mahluk itu mati tanpa tahu apa yang menyerangnya.
Wanita tadi melayang sebentar, sebelum akhirnya perlahan-lahan turun ke tanah. Kerutan wajahnya menunjukkan seberapa lelahnya wanita itu. Matanya pun sudah setengah tertutup.
“Hei. Maaf aku juga terlambat.” Sapanya cuek, lalu menunjuk pemuda berambut biru terang tadi dengan dagunya.  “Decimo lama. Jadi aku tertidur sebentar.”
Pemuda berambut biru yang dipanggil Decimo memutar bola matanya. “Urusan OSIS.”
Uno, si pemuda berambut merah nimbrung. “OSIS? Memang dalam rangka apa—“
“Apapun itu.” Potong pemuda berambut cokelat barusan. “Kau harus bisa mengatur prioritasmu, Decimo.” Lalu ia menoleh kearah wanita barusan. “Dan kau, sempat-sempatnya kau tidur saat bertugas, Tredici.”
Tredici menguap lebar. “Terserah kau saja, Nove. Yang penting tidak ada yang terluka, bukan?”
Suasana disekeliling mereka mulai tegang; Decimo sibuk meregangkan tubuhnya yang lelah, wanita tadi—Tredici, melipat kedua tangannya didepan dadanya sembari mengetuk-ngetukan ujung sol sepatunya dengan tatapan tajam yang ditujukan untuk Nove yang balas menatapnya tidak kalah angkuhnya.
Melihat suasana yang tegang seperti ini, Uno mulai tidak sabaran. “Orang-orang bodoh. Urusan sepele saja di permasalahkan. Memangnya ada apa?”
“Ohya, Nove.” Decimo memotong, tidak menghiraukan pertanyaan Uno (lagi) “Sette dan Diciasette tidak dapat bertugas hari ini. Dipanggil kepsek.”
Nove mengangguk, lalu terdiam sebentar sebelum menyadari suatu hal lain.
“Bagaimana dengan Quartro?”. Decimo menggeleng pelan.
“Sepertinya ia bolos bertugas lagi.”
“Hei!! Memangnya besok ada apa?!” Tanya Uno, akhirnya naik pitam.
Kali ini Tredici yang terlihat menggeleng seakan tidak percaya dengan kebodohan rekannya itu. “Bodoh.”
“Besok itu hari pertama semester baru.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar