Disclaimer: SEVENTH HEAVEN belongs to Rejet. OCs belong to their respective owners
Rating: T (Tidak tetap)
Warning: OC, OOC, kesalahan dalam berkata-kata, dsb.
“H-Hei… Itsuki…
apa kau yakin, ini jalan yang benar?” Hinata menelan ludah, jari-jarinya
mencengkram kuat kaos milik Kohaku.
“Tenang sajalah,
Hinata.” Itsuki berusaha meyakinkan sahabatnya yang agak penakut itu. “Aku
ingat persis di sekitar sini ada lapangan terbuka.”
Kali ini, Kohaku
angkat bicara. “Bukannya Shirogane-senpai sudah menegaskan, kalau kita dilarang
berkeliaran di malam hari?” wajahnya masih menunjukkan gurat khawatir. “Mungkin
sebaiknya kita kembali, Itsuki…”
“Eh? Aku tidak
mendengarnya.” Balas Itsuki
santai.
Ternyata selain
kemana-mana bersama, ketiga sahabat ini semuanya mempunyai nyali yang lumayan
besar—yah, setidaknya Itsuki. Padahal sudah jelas tertera di handbook kalau siswa-siswi dilarang
berkeliaran di area sekolah selama jam malam berlangsung, tetapi Itsuki masih
tetap bersikeras untuk melihat langit bertaburan bintang seperti yang biasa
mereka lakukan di desa kampung halaman mereka.
Di desa mereka
tinggal, mereka biasanya selalu merebahkan diri bertiga di padang rumput pada
malam hari untuk melihat bintang, sambil berbagi cerita. Hari ini Itsuki
memaksakan kedua sahabatnya itu, karena dia merasa hari ini mereka bertiga
banyak tidak menghabiskan waktu bersama, sehingga rasanya wajib untuk berbagi
cerita malam ini.
“N…Ne.. Itsuki…
kamu yakin kita harus
memasuki hutan?” Wajah Hinata semakin pucat, tangannya yang gemetar akibat suhu
yang menusuk tulang dan ketakutan sudah mencapai kedua bahu Kohaku.
“Hutannya tipis
kok, hanya beberapa meter, nanti akan ada lahan kosong yang cukup luas
disebelah dojo panahan.” Itsuki membalas sambil mengarahkan senternya ke ujung
jalan setapak yang dikelilingi hutan, tanpa pencahayaan sama sekali.
Melihat kondisi
jalanan setapak tersebut, Kohaku ikut mencengkram jaket Itsuki. “M-memangnya
tur tadi kamu sampai kesana?”
“Begitulah…
tunggu… memangnya kalian tidak?” Kali ini Itsuki balik bertanya.
Kohaku
menggeleng. “Seingatku, Nordheim-senpai mengatakan bahwa tour hanya dilakukan
di sekolah. Untuk perkenalan klub, akan dilakukan pada hari terakhir MOS di
acara student day.” Jawab gadis berambut merah salmon tersebut.
Raut wajah Itsuki
yang tadinya sumringah langsung berubah bingung campur kaget. Ia berhenti di
tempatnya dan menoleh kearah sahabat-sahabatnya yang mengekor.
“Be…benarkah?
Lalu kenapa kami dibawa ke tempat sekre klub?”
“Nee… sudahlah,
jangan mengobrol terus… aku tidak suka lama-lama ditempat seperti ini…
seakan-akan… seperti ada yang akan melompat keluar dari pepohonan itu…” Hinata
mencengkram bahu gadis didepannya dengan kuat. Pundak Kohaku langsung kaku.
“H-Hinata!
Sakit…” rintihnya. Hinata kontan melonggarkan cengkramannya.
“G…gomen…”
“Yasudah, ayo
kita segera kesana saja.” Itsuki langsung berjalan mengikuti jalan setapak
memasuki hutan. Diikuti kedua sahabatnya yang saling berpegangan.
Grrrr…
Glek! Bulu
punggung mereka langsung berdiri tegak. “K…kalian
dengar itu?” Hinata menoleh ke kanan dan kirinya yang hanya dipenuhi oleh
kegelapan hutan.
“Aku… dengar…”
Wajah Kohaku mendadak menjadi ikut pucat lalu berusaha menarik jaket Itsuki. “A-ayolah!
Kita kembali saja!!”
Hinata ikut
menyahut. “B-Benar, Itsuki!”
Sedangkan Itsuki
malah mengarahkan senternya ke sekeliling mereka, berusaha mencari tahu sumber
suara itu. “Suaranya dari arah sana!” Ujarnya bersemangat.
“I-Itsuki!!”
desak Kohaku, memegangi tangan Hinata yang sudah berkeringat dingin. Namun
Itsuki tidak menghiraukan desakan gadis itu untuk segera kembali dan malah
mengejar asal suara tersebut.
Kohaku dan Hinata
hanya saling berpandangan sebelum berlari untuk mengejar Itsuki.
Begitu ketiganya
sampai di lapangan terbuka tersebut, yang ada hanyalah tinggal hamparan padang
rumput indah yang rusak oleh berbagai macam lubang dan kawah-kawah lebar.
Bunga-bunga Sakura yang tadinya bertengger indah di pepohonan ceri sudah
rontok, menyisakan hanya batang kayu cokelat gelap yang bercabang. Sungguh
menyedihkan.
“A-apa…apaan?”
Itsuki terbata-bata.
Lalu dari arah
lain tiba-tiba terdengar suara dentuman yang keras. Cukup keras sehingga
menggetarkan tanah pijakan ketiga sahabat tersebut. Agak jauh di tengah-tengah
padang rumput yang porak poranda tersebut, terlihat sebuah siluet raksasa
mengamuk dengan buasnya. Sinar rembulan yang awalnya tertutupi oleh awan
menyinari mahluk raksasa itu, membuat wajah ketiga sahabat tersebut langsung
berubah pucat.
Sebuah mahluk
buas seukuran gedung lima lantai dengan struktur tubuh yang menyerupai gabungan
antara sebuah singa dan manusia sedang memporak-porandakan pepohonan sakura
yang menghalangi jalannya. Bulu berwarna hitam yang menutupi sebagian besar
tubuhnya bagaikan sebuah mantel tebal yang siap melindungi tubuh penggunanya
dari serangan apapun. Cakarnya yang berkilat diterpa sinar bulan merobek-robek
batang pohon hingga menjadi serpihan-serpihan kecil diikuti dengan aumannya
yang menggetarkan tanah.
Keringat dingin
menetes dari dahi Kohaku. Bibirnya bergetar, tidak mampu membentuk ketakutannya
hingga menjadi kata-kata. Tenggorokan Hinata yang tercekat hanya berhasil
mengeluarkan suara yang terdengar seperti “Apa.”
Belum pulih dari
kekagetan barusan, mereka menyaksikan lagi tiga buah siluet—yang untungnya
seukuran manusia—melesat dikegelapan malam dan menyerang monster itu tanpa
ampun. Satu diantaranya terlihat seperti seorang wanita dengan rambut yang
diikat menyamping, dan sisanya merupakan dua pria dengan rambut yang sama-sama diikat
tikus.
Tunggu. Itsuki
seperti pernah melihat wanita itu. Malah setelah memicingkan matanya agar lebih
terfokus, kedua laki-laki yang membantu wanita itu juga familiar. Jangan-jangan…
“Shirogane-senpai!”
seru Itsuki
Benar saja, salah
satu dari laki-laki tersebut menoleh dan memperlihatkan identitasnya yang
ternyata merupakan Yuuri Shirogane. “?! K-Kau--?!”
Wanita tadi—yang
Itsuki langsung kenali dari suaranya sebagai Tsukisa Murasaki menjerit “AWAS!!”
Tidak
setengah-setengah lagi. Yuuri yang tidak memperhatikan gerak-gerik musuhnya
langsung terlempar dengan kencang berkat tamparan dari mahluk buas tersebut. Tubuhnya
langsung menabrak pepohonan di seberang bagaikan boomerang yang memotong pohon
“SETTE!!” seru
pemuda satunya yang tampak seperti Mint Nordheim.
Dia berusaha
menahan serangan monster tersebut, namun dengan sekali sapuan tangan besar
monster itu Mint mendapatkan nasib yang sama seperti Yuuri.
Tsukisa sudah
tidak memperhatikan sekelilingnya, hanya fokus menolong Yuuri yang terkapar.
Mengambil kesempatan, monster tersebut alih-alih mengubah jalurnya dan malah
menerkam kearah Tsukisa.
“S-SENPAI!!”
Hinata berteriak, suaranya bergetar hebat. “AWAS DIBELAKANGMU!”
Gadis tadi bahkan
tidak sempat menoleh sebelum cakar milik mahluk mengerikan itu mendarat di
tubuhnya lagi yang langsung melesat kearah pepohonan tempat teman senasibnya
ikut terkapar. Suara berderak yang ngilu memenuhi keheningan malam itu.
“M-Murasaki-senpai!!”
Tiba-tiba, mata
merah berkilatan milik monster tersebut bertemu dengan mata ungu terang milik
Hinata yang sudah dibasahi oleh keringat dingin. Monster itu pun mendekati mereka bertiga, memiringkan
wajahnya seakan memperhatikan sebuah mahluk berspesies baru. Ekornya mulai
bergerak-gerak antusias
Itsuki melebarkan
tangannya, seolah-olah ingin menjaga kedua sahabatnya yang berdiri ketakutan
dibelakangnya. “Jangan buat gerakan
mendadak…”
Sayangnya, mahluk itu langsung melompat kearah mereka.
“AAAH!”
Mereka bertiga
melompat menghindari terjangan tiba-tiba dari mahluk berkulit tajam itu.
Seperti tidak mengenal belas kasihan, monster tersebut langsung berusaha
menerjang Hinata yang masih berusaha mengangkat badannya. Tanpa berpikir panjang, Itsuki langsung
melompat ke arah Hinata. Dia mengangkat kedua tangannya untuk menahan serangan
dari monster itu, walaupun dia tahu ini merupakan hal yang sia-sia. Sebentar
lagi tangan raksasa monster itu akan meremukkan tubuh mereka berdua hingga
terlihat seperti pancake merah menjijikan.
“J-JANGAN!” Kohaku berteriak dari kejauhan,
dia belum sempat berdiri dari tempatnya.
WUUUUUUUSSSH
Tiba-tiba, angin
musim semi yang awalnya sepoi-sepoi berubah drastis sehingga melempar monster
itu ke arah pepohonan rimbun. Tunggu, apakah angin bisa bertiup sekencang itu?
Saat Itsuki
membuka matanya, dia terkejut mendapati monster yang tadi hampir menyerangnya
sudah terlempar. Tetapi dia langsung beralih ke Hinata.
“Hinata! Kamu
tidak apa-apa?”
Hinata
mengedipkan matanya beberapa kali, lalu menunjuk kearah rahang kanan belakang
milik sahabat sekaligus penyelamatnya itu. “Itsuki… rahangmu… tadi… apa yang
kau lakukan?”
“Aku? Apa yang…”
tangan Itsuki otomatis langsung menyentuh area yang ditunjuk Hinata. Namun
percuma, karena ia tidak bisa melihat bagaimana sebuah tanda berbentuk ‘XIV’
muncul dan menghilang setelah angin tadi bertiup.
“Itsuki! Hinata!
Kalian tidak terluka kan?” Kohaku berlari mendekati mereka. Hinata hanya
mengangguk gugup.
“Ayo kita segera pergi dari sini!” Kohaku dengan
panik berusaha menarik kedua temannya berdiri.
Monster yang
terlempar tadi kesadarannya sudah kembali, dia membuka mulutnya dan mengaum
keras. Suara itu dapat membuat siapapun yang tidak pernah melihat monster akan
ketakutan. Dari mulut monster itu, keluar satu… dua… bahkan tiga monster
setinggi kotak pos. Monster-monster kecil itu berteriak dengan nyaringnya.
Ketiga manusia
yang baru sempat berdiri, semakin ketakutan ketika melihat pemandangan
didepannya. Tanpa berpikir panjang, Itsuki langsung menarik kedua temannya
lari.
Namun,
monster-monster kecil tadi ternyata lebih lincah dari yang mereka pikirkan. Dalam
sekejap, monster-monster berbentuk singa dengan bulu hitam tersebut sudah
menyusul ketiga sahabat itu.
Salah satu
monster kecil itu menarik lengan pakaian gadis berambut merah salmon yang
sedang berlari tadi. Kohaku sendiri kontan menjerit.
“KOHAKU!” Itsuki
berusaha menahan tangan Kohaku. Sayangnya, monster yang lain mencakar tangan
pria itu. “AAH!” Dengan refleks, dia melepaskan pegangannya pada gadis itu.
Darah segar mengalir dari lukanya.
Monster yang
berhasil menarik Kohaku, langsung menyeret gadis itu kembali ke induknya. Dua
monster yang lain berusaha menangkap Itsuki dan Hinata yang kerap menghindar,
seraya memikirkan bagaimana cara menyelamatkan temannya yang sudah tertangkap.
“Ahk!” Kohaku
berusaha berdiri, namun monster itu menyeretnya dengan kasar dan cepat,
sehingga dia kesulitan untuk melawan. Dia memejamkan matanya, dikepalanya dia
memikirkan nasib kedua temannya. Apakah mereka bertiga akan mati disini?
Dengan sekali
sambaran, tubuh Kohaku terbanting di tanah yang lapang. Anak-anak dari monster
singa tadi sudah menahan tubuhnya, taring berkilauan di mulut berliur mereka
siap merobek dan mengoyak daging gadis itu hingga serpihan kecil. Kilasan
memori –memori bahagia Kohaku pun terbayang di kepalanya; ia sudah siap mati.
CTARRR
GRIIIIK
Tiba-tiba ada
suara petir yang memecahkan keheningan malam, disusul dengan jeritan kesakitan
dari salah-satu monster kecil.
Kohaku merasa
badannya berhenti diseret, ketika membuka matanya, dia melihat monster yang
tadi menyeretnya sudah terbakar hangus disebelahnya. Ketika mengadahkan
wajahnya, dia mendapati sesosok pria berambut hitam halus, dengan pita merah
terikat longgar di leher jenjangnya. Apakah ia salah satu dari
senpai-senpainya yang mempunyai kekuatan aneh lagi?
Seekor burung
gagak datang dan hinggap di pundak pria tersebut. Pria itu menatap Kohaku
dengan iris kuningnya, mengirimkan perasaan dingin ke sekujur tubuh gadis
malang itu.
Belum sempat Kohaku
sadar dari keterkejutannya, tiba-tiba dia mendengar suara rebut dari arah
belakangnya, suara tersebut bercampur dengan suara kedua temannya. Dia segera
menoleh ke belakang, dan melihat kobaran api yang cukup besar.
“Itsuki! Hinata!”
Mengabaikan pria yang baru saja menolongnya, Kohaku berdiri dan berlari ke arah
kobaran api tersebut, berusaha mencari kedua temannya.
Namun, gadis itu
mendapati sosok pria dengan rambut merah menyala yang terlihat sedang asik
mengendalikan api didepannya, menghanguskan dua monster kecil sekaligus.
“Ahahahahahaha!
Terlalu mudah!” Teriak pria itu dengan sombongnya. Kedua lengannya
terlihat seperti terbakar saat ia menembakkan bola-bola api kearah
monster-monster tadi.
Kohaku sudah
tidak terlalu kaget lagi melihat pemandangan ini, apalagi setelah melihat
monster menjijikkan yang menyerangnya. Dia dapat melihat kalau pria berambut
merah itu menolong kedua temannya, saat ini Itsuki terlihat masih memegangi
tangan Hinata yang wajahnya masih sangat pucat. Kedua pria itu ekspresinya
menjadi lega begitu melihat Kohaku yang baik-baik saja.
Tiba-tiba,
terdengar lagi suara auman yang sama. Monster induk tadi kembali membuka
mulutnya dan mengeluarkan lebih banyak lagi monster kecil seperti tadi.
Pria dengan rambut
hitam tadi berdecak malas, “Muncul
lagi, eh?” Dia beralih kepada pria dengan rambut merah dibelakangnya. “Oi,
Uno…”
“Ada apa,
Quattro? UWA! Kenapa semakin banyak?!” Ujarnya terkejut melihat makin banyak
monster kecil yang bermunculan dan mengelilingi mereka.
“Merepotkan...” Ucap Quattro singkat sambil
mengacak-acak rambutnya malas, bibirnya terlihat membentuk sebuah
senyuman licik. “Kakek-kakek
brengsek, bukannya malam ini sudah
ada petugas? ” Pria itu mengarahkan
tangannya ke induk monster tersebut. Tiba-tiba saja dari seluruh lengannya
muncul aliran listrik yang berkumpul di telapaknya membentuk sebuah bola
listrik.
CTARR
Sialnya, serangan yang dia keluarkan tidak mengenai
induk monster—anak-anak dari monster itu melindungi induknya.
Setelah melihat
apa yang diakukan rekannya, pria yang dipanggil Uno mendecakkan lidahnya, lalu
menoleh kearah ketiga murid baru yang ada di dekatnya bergantian. “Oi,
anak-anak baru.” ujarnya dengan nada
sedikit sombong, melirik kearah rekan-rekannya yang sedang tidak sadarkan diri
setelah diserang monster-monster tersebut. “Kalian tidak mau berakhir
seperti mereka kan? Jangan sok berani dan carilah tempat berlindung.”
Ketiga sahabat tadi hanya mengangguk patuh dan langsung
berlindung dibalik sebuah batu besar. Uno tersenyum puas, lalu mengeluarkan
sebuah pemantik dari sakunya. Quattro tidak bergeming; kedua tangannya masih ia
letakkan di kedua saku celananya.
“Nah, langsung kita mulai saja pesta ini, ya?”
Bagaikan sebuah aba-aba, keokan gagak yang bertengger di
pundak Quattro pun memulai kembali pertarungan antara kedua ras itu. Mahluk
hitam tadi juga malah berlari kearah mereka dengan cakar terangkat seakan-akan
menantang. Angin musim semi yang biasanya bertiup semilir entah kenapa jadi
menusuk tulang.
“K-Kohaku… kau tidak apa-apa??” Hinata bertanya khawatir
pada sahabat gadisnya yang sedang bersender di batu besar tempat mereka
bersembunyi. Wajah Hinata yang bulat dan imut sekarang penuh dengan bekas tanah
dan goresan-goresan kecil.
Kohaku mengangguk pelan, tubuhnya bergetar hebat saat ia menyingkap
celana berbahan katun miliknya yang sudah basah dengan darah dan compang
camping akibat diseret tadi. Sebuah guratan panjang yang memenuhi sekitar ¾
paha kanan sampingnya langsung terlihat. Darah segar merembes keluar dari luka
tersebut. Oh, akan butuh jahitan yang cukup banyak untuk bisa menutup luka itu…
“Kohaku!! Ini bukan
‘tidak apa-apa’!” jerit Itsuki dengan wajah khawatir bercampur takut dan panik.
Gadis tadi malah meringis sambil terengah-engah.
“M-memangnya kalau aku mengeluh sakit, kalian bisa apa…?” ia mendesis kesakitan,
berusaha untuk menggerakan kakinya. Airmata membanjiri wajahnya yang kotor
dengan tanah.
Itsuki meninju bumi, sebagian dari dirinya menyesal tidak
pernah memperhatikan kelas P3K. “Sial!!
Kita tidak bisa meninggalkan Kohaku disini!”
Hinata menggigit bibirnya seraya duduk sambil memeluk
lututnya, gemetar. Kenapa semua ini harus terjadi pada mereka? Itsuki bodoh!
Seharusnya tadi mereka langsung kabur begitu mendengar suara-suara aneh
tersebut, tapi ia malah mencari asalnya! Beberapa laki-laki memang menembak
dulu baru berpikir! Sekarang lihat apa yang terjadi, mereka bertiga terjebak
didalam pertarungan supernatural diantara manusia dengan mahluk yang hanya
Tuhan yang tahu! Hinata berjanji pada dirinya sendiri akan memarahi Itsuki
habis-habisan jika mereka bisa keluar dari sini hidup-hidup!
DEG!!
Rasa sakit yang tajam tiba-tiba melanda dada kiri Hinata,
diikuti dengan pengelihatannya yang entah kenapa mengabur.
‘S-sial….’ Umpat pemuda beriris abu-abu muda itu,
mencengkram piyama di bagian dadanya. Untungnya hal itu tidak luput dari
pengelihatan kedua sahabatnya yang langsung mendekatinnya dengan raut wajah
khawatir.
“Hinata! Kau tidak apa-apa?!” Itsuki mencengkram pundak
Hinata, berusaha mendorongnya agar agak bersender. Kohaku hanya bisa melihat
dari jauh dengan luka di pahanya.
Tenggorokan Hinata yang tercekat hanya mampu menghasilkan
suara “Dada….ku…” yang serak.
Waktunya telah tiba….
Sebuah suara muncul di kepala Hinata yang berdengung
menyakitkan.
Sang Ratu telah memberikan berkahNya padamu…
‘E-eh??’
Pergunakanlah, dan sembuhkan segala penyakit di muka bumi ini.
‘I-Ini…’ Hinata
menggumam
Entah diberi anugerah apa oleh Tuhan, Hinata merasakan
sekujur tubuhnya menjadi sejuk dengan pusat dari kedua telapak tangannya. Rasa
sakit di bawah tulang belikatnya digantikan oleh munculnya sebuah tanda
berbentuk huruf ‘XII’. Tanpa pikir panjang—tidak, bahkan tanpa berpikir Hinata
langsung mendekati Kohaku dan menempelkan kedua tangannya di luka sobeknya.
“H-Hinata!” Itsuki sedikit membentak begitu melihat raut
wajah Kohaku yang sedikit kesakitan. “Apa yang kau lakukan?!”
Hinata tidak bergeming. “Lihat saja!!”
Setelah beberapa detik berlalu, Hinata pun membuka kedua
tangannya, memperlihatkan luka di paha Kohaku yang sudah tertutup rapat dan
nyaris sembuh. Ketiga sahabat itu—termasuk Hinata—melihatnya dengan takjub.
“B-Bagaimana bisa…?” gumam Hinata pada dirinya sendiri.
“Pikirkanlah nanti! Sekarang kita harus kabur!” seru Itsuki
girang.
Tanpa berbasa-basi, ketiga murid-murid baru itu berlari
meninggalkan tempat persembunyian mereka menuju ke arah mereka datang. Mereka
harus segera melaporkan hal ini kepada guru-guru dan mencari bala bantuan! Mana
bisa dua senior mereka bertarung melawan monster sebesar itu?
BRUAKK!!
Baru saja mereka akan memasuki hutan, tiba-tiba tubuh
guardian berambut merah menyala terlempar ke salah satu pohon besar di mulut
hutan. Pohon itu pun sedikit retak, padahal tubuh Uno sempat terpelanting
beberapa kali setelah menyentuh tanah sebelum benar-benar berhenti. Suara
tulang berderak tulang begitu memilukan
“?! K-KAU TIDAK APA-APA?!” Itsuki langsung menghampiri Uno.
Uno berusaha bangun, mengelap darah yang keluar dari
mulutnya. “Rakshasa sialan…”
Rakshasa? Apakah
istilah itu yang mereka pakai untuk menyebut monster aneh tadi?
Belum sempat Uno berdiri, Rakshasa tadi sudah menghampiri mereka. Tidak ada tanda-tanda
adanya Quattro ataupun gagaknya di sekitar mereka.
“S-Sial…” Uno mengumpat, menyalakan lagi pemantiknya yang
terlihat penyok. “Menyalalah, barang rongsokan!!”
Itsuki hanya bisa menatapi kaki Rakshasa yang sudah tepat berada diatas mereka, sekali lagi siap
meremukkan tulang-tulang di tubuh mereka hingga menjadi bubur. Uno masih
berupaya untuk menyalakan pemantiknya.
Tanpa aba-aba, kaki Rakshasa
tadi langsung saja menurun dengan kecepatan tinggi.
‘Disini!’ Itsuki
membatin, menutup matanya pasrah. ‘Disini
lah kematianku!’
Namun, yang terjadi malah hal lain.
“KOHAKU!! JANGAN!!” Itsuki menangkap jeritan Hinata.
Bukannya diinjak, kedua pemuda tadi merasakan sesuatu
mendorong mereka ke samping, jauh dari injakan Raksasha itu. Itsuki membuka matanya dan melihat sosok Kohaku yang
sedang berdiri dibawah kaki Rakshasa
tadi. Senyum menghiasi wajahnya.
“KOHAKU!!!” Itsuki berteriak mengeluarkan seluruh tenaganya.
BRAAAKK!
......Tunggu, ‘Braaak’?
Ketiga pemuda tadi mendongak, mendapati Rakshasa yang sedang kesakitan. Kakinya terlihat menyakitkan dengan
tanah dibawahnya yang mencuat dan menembus menjadi duri-duri tajam. Cairan
hitam terlihat mengalir turun di beberapa duri-duri. Namun bukan itu yang
mereka cari.
“Kohaku!!” Itsuki berusaha memanggil sambil melindungi
matanya dari debu yang berterbangan.
“D-Disini..” Terdengar suara lirih Kohaku.
Itsuki dan Hinata pun langsung mencari asal sumber suara
tadi, namun karena debu yang begitu tebal, mereka terpaksa menunggu sampai
kabutnya menipis. Tapi apa yang mereka saksikan berikutnya membuat mereka
terperangah, bahkan Uno sekalipun.
Didepan kaki Rakshasa
tadi, terlihat Kohaku yang duduk terengah-engah. Sebuah cahaya berpendar di
paha sampingnya dekat lutut berbentuk huruf ‘II’.
Bersyukurlah, sebab kau telah diselamatkan olehNya
Dengan ini kau dikaruniai sebagian dari kekuatan Bumi ini
Pergunakanlah dengan baik, bagaikan tanah yang menopang kehidupan.
“…Kau…” Uno terlihat agak bengong.
Belum sembuh dari pemandangan yang mereka saksikan barusan,
Quattro sudah datang lagi dengan aliran listrik di kedua tinjunya. Dengan
sekali lompatan dari salah satu cabang pohon terdekat, ia terbang sebelum
menembus tubuh Rakshasa tadi dengan
tinjunya. Tubuh yang terbelah tadi pun meledak, melemparkan potongan tubuh
gosong ke berbagai arah.
Mereka telah menang.
Atau setidaknya itulah apa yang ada di pikiran ketiga
sahabat tadi sebelum pingsan akibat kelelahan dan kelegaan yang luar biasa.
“H-Hei… Itsuki…
apa kau yakin, ini jalan yang benar?” Hinata menelan ludah, jari-jarinya
mencengkram kuat kaos milik Kohaku.
“Tenang sajalah,
Hinata.” Itsuki berusaha meyakinkan sahabatnya yang agak penakut itu. “Aku
ingat persis di sekitar sini ada lapangan terbuka.”
Kali ini, Kohaku
angkat bicara. “Bukannya Shirogane-senpai sudah menegaskan, kalau kita dilarang
berkeliaran di malam hari?” wajahnya masih menunjukkan gurat khawatir. “Mungkin
sebaiknya kita kembali, Itsuki…”
“Eh? Aku tidak
mendengarnya.” Balas Itsuki
santai.
Ternyata selain
kemana-mana bersama, ketiga sahabat ini semuanya mempunyai nyali yang lumayan
besar—yah, setidaknya Itsuki. Padahal sudah jelas tertera di handbook kalau siswa-siswi dilarang
berkeliaran di area sekolah selama jam malam berlangsung, tetapi Itsuki masih
tetap bersikeras untuk melihat langit bertaburan bintang seperti yang biasa
mereka lakukan di desa kampung halaman mereka.
Di desa mereka
tinggal, mereka biasanya selalu merebahkan diri bertiga di padang rumput pada
malam hari untuk melihat bintang, sambil berbagi cerita. Hari ini Itsuki
memaksakan kedua sahabatnya itu, karena dia merasa hari ini mereka bertiga
banyak tidak menghabiskan waktu bersama, sehingga rasanya wajib untuk berbagi
cerita malam ini.
“N…Ne.. Itsuki…
kamu yakin kita harus
memasuki hutan?” Wajah Hinata semakin pucat, tangannya yang gemetar akibat suhu
yang menusuk tulang dan ketakutan sudah mencapai kedua bahu Kohaku.
“Hutannya tipis
kok, hanya beberapa meter, nanti akan ada lahan kosong yang cukup luas
disebelah dojo panahan.” Itsuki membalas sambil mengarahkan senternya ke ujung
jalan setapak yang dikelilingi hutan, tanpa pencahayaan sama sekali.
Melihat kondisi
jalanan setapak tersebut, Kohaku ikut mencengkram jaket Itsuki. “M-memangnya
tur tadi kamu sampai kesana?”
“Begitulah…
tunggu… memangnya kalian tidak?” Kali ini Itsuki balik bertanya.
Kohaku
menggeleng. “Seingatku, Nordheim-senpai mengatakan bahwa tour hanya dilakukan
di sekolah. Untuk perkenalan klub, akan dilakukan pada hari terakhir MOS di
acara student day.” Jawab gadis berambut merah salmon tersebut.
Raut wajah Itsuki
yang tadinya sumringah langsung berubah bingung campur kaget. Ia berhenti di
tempatnya dan menoleh kearah sahabat-sahabatnya yang mengekor.
“Be…benarkah?
Lalu kenapa kami dibawa ke tempat sekre klub?”
“Nee… sudahlah,
jangan mengobrol terus… aku tidak suka lama-lama ditempat seperti ini…
seakan-akan… seperti ada yang akan melompat keluar dari pepohonan itu…” Hinata
mencengkram bahu gadis didepannya dengan kuat. Pundak Kohaku langsung kaku.
“H-Hinata!
Sakit…” rintihnya. Hinata kontan melonggarkan cengkramannya.
“G…gomen…”
“Yasudah, ayo
kita segera kesana saja.” Itsuki langsung berjalan mengikuti jalan setapak
memasuki hutan. Diikuti kedua sahabatnya yang saling berpegangan.
Grrrr…
Glek! Bulu
punggung mereka langsung berdiri tegak. “K…kalian
dengar itu?” Hinata menoleh ke kanan dan kirinya yang hanya dipenuhi oleh
kegelapan hutan.
“Aku… dengar…”
Wajah Kohaku mendadak menjadi ikut pucat lalu berusaha menarik jaket Itsuki. “A-ayolah!
Kita kembali saja!!”
Hinata ikut
menyahut. “B-Benar, Itsuki!”
Sedangkan Itsuki
malah mengarahkan senternya ke sekeliling mereka, berusaha mencari tahu sumber
suara itu. “Suaranya dari arah sana!” Ujarnya bersemangat.
“I-Itsuki!!”
desak Kohaku, memegangi tangan Hinata yang sudah berkeringat dingin. Namun
Itsuki tidak menghiraukan desakan gadis itu untuk segera kembali dan malah
mengejar asal suara tersebut.
Kohaku dan Hinata
hanya saling berpandangan sebelum berlari untuk mengejar Itsuki.
Begitu ketiganya
sampai di lapangan terbuka tersebut, yang ada hanyalah tinggal hamparan padang
rumput indah yang rusak oleh berbagai macam lubang dan kawah-kawah lebar.
Bunga-bunga Sakura yang tadinya bertengger indah di pepohonan ceri sudah
rontok, menyisakan hanya batang kayu cokelat gelap yang bercabang. Sungguh
menyedihkan.
“A-apa…apaan?”
Itsuki terbata-bata.
Lalu dari arah
lain tiba-tiba terdengar suara dentuman yang keras. Cukup keras sehingga
menggetarkan tanah pijakan ketiga sahabat tersebut. Agak jauh di tengah-tengah
padang rumput yang porak poranda tersebut, terlihat sebuah siluet raksasa
mengamuk dengan buasnya. Sinar rembulan yang awalnya tertutupi oleh awan
menyinari mahluk raksasa itu, membuat wajah ketiga sahabat tersebut langsung
berubah pucat.
Sebuah mahluk
buas seukuran gedung lima lantai dengan struktur tubuh yang menyerupai gabungan
antara sebuah singa dan manusia sedang memporak-porandakan pepohonan sakura
yang menghalangi jalannya. Bulu berwarna hitam yang menutupi sebagian besar
tubuhnya bagaikan sebuah mantel tebal yang siap melindungi tubuh penggunanya
dari serangan apapun. Cakarnya yang berkilat diterpa sinar bulan merobek-robek
batang pohon hingga menjadi serpihan-serpihan kecil diikuti dengan aumannya
yang menggetarkan tanah.
Keringat dingin
menetes dari dahi Kohaku. Bibirnya bergetar, tidak mampu membentuk ketakutannya
hingga menjadi kata-kata. Tenggorokan Hinata yang tercekat hanya berhasil
mengeluarkan suara yang terdengar seperti “Apa.”
Belum pulih dari
kekagetan barusan, mereka menyaksikan lagi tiga buah siluet—yang untungnya
seukuran manusia—melesat dikegelapan malam dan menyerang monster itu tanpa
ampun. Satu diantaranya terlihat seperti seorang wanita dengan rambut yang
diikat menyamping, dan sisanya merupakan dua pria dengan rambut yang sama-sama diikat
tikus.
Tunggu. Itsuki
seperti pernah melihat wanita itu. Malah setelah memicingkan matanya agar lebih
terfokus, kedua laki-laki yang membantu wanita itu juga familiar. Jangan-jangan…
“Shirogane-senpai!”
seru Itsuki
Benar saja, salah
satu dari laki-laki tersebut menoleh dan memperlihatkan identitasnya yang
ternyata merupakan Yuuri Shirogane. “?! K-Kau--?!”
Wanita tadi—yang
Itsuki langsung kenali dari suaranya sebagai Tsukisa Murasaki menjerit “AWAS!!”
Tidak
setengah-setengah lagi. Yuuri yang tidak memperhatikan gerak-gerik musuhnya
langsung terlempar dengan kencang berkat tamparan dari mahluk buas tersebut. Tubuhnya
langsung menabrak pepohonan di seberang bagaikan boomerang yang memotong pohon
“SETTE!!” seru
pemuda satunya yang tampak seperti Mint Nordheim.
Dia berusaha
menahan serangan monster tersebut, namun dengan sekali sapuan tangan besar
monster itu Mint mendapatkan nasib yang sama seperti Yuuri.
Tsukisa sudah
tidak memperhatikan sekelilingnya, hanya fokus menolong Yuuri yang terkapar.
Mengambil kesempatan, monster tersebut alih-alih mengubah jalurnya dan malah
menerkam kearah Tsukisa.
“S-SENPAI!!”
Hinata berteriak, suaranya bergetar hebat. “AWAS DIBELAKANGMU!”
Gadis tadi bahkan
tidak sempat menoleh sebelum cakar milik mahluk mengerikan itu mendarat di
tubuhnya lagi yang langsung melesat kearah pepohonan tempat teman senasibnya
ikut terkapar. Suara berderak yang ngilu memenuhi keheningan malam itu.
“M-Murasaki-senpai!!”
Tiba-tiba, mata
merah berkilatan milik monster tersebut bertemu dengan mata ungu terang milik
Hinata yang sudah dibasahi oleh keringat dingin. Monster itu pun mendekati mereka bertiga, memiringkan
wajahnya seakan memperhatikan sebuah mahluk berspesies baru. Ekornya mulai
bergerak-gerak antusias
Itsuki melebarkan
tangannya, seolah-olah ingin menjaga kedua sahabatnya yang berdiri ketakutan
dibelakangnya. “Jangan buat gerakan
mendadak…”
Sayangnya, mahluk itu langsung melompat kearah mereka.
“AAAH!”
Mereka bertiga
melompat menghindari terjangan tiba-tiba dari mahluk berkulit tajam itu.
Seperti tidak mengenal belas kasihan, monster tersebut langsung berusaha
menerjang Hinata yang masih berusaha mengangkat badannya. Tanpa berpikir panjang, Itsuki langsung
melompat ke arah Hinata. Dia mengangkat kedua tangannya untuk menahan serangan
dari monster itu, walaupun dia tahu ini merupakan hal yang sia-sia. Sebentar
lagi tangan raksasa monster itu akan meremukkan tubuh mereka berdua hingga
terlihat seperti pancake merah menjijikan.
“J-JANGAN!” Kohaku berteriak dari kejauhan,
dia belum sempat berdiri dari tempatnya.
WUUUUUUUSSSH
Tiba-tiba, angin
musim semi yang awalnya sepoi-sepoi berubah drastis sehingga melempar monster
itu ke arah pepohonan rimbun. Tunggu, apakah angin bisa bertiup sekencang itu?
Saat Itsuki
membuka matanya, dia terkejut mendapati monster yang tadi hampir menyerangnya
sudah terlempar. Tetapi dia langsung beralih ke Hinata.
“Hinata! Kamu
tidak apa-apa?”
Hinata
mengedipkan matanya beberapa kali, lalu menunjuk kearah rahang kanan belakang
milik sahabat sekaligus penyelamatnya itu. “Itsuki… rahangmu… tadi… apa yang
kau lakukan?”
“Aku? Apa yang…”
tangan Itsuki otomatis langsung menyentuh area yang ditunjuk Hinata. Namun
percuma, karena ia tidak bisa melihat bagaimana sebuah tanda berbentuk ‘XIV’
muncul dan menghilang setelah angin tadi bertiup.
“Itsuki! Hinata!
Kalian tidak terluka kan?” Kohaku berlari mendekati mereka. Hinata hanya
mengangguk gugup.
“Ayo kita segera pergi dari sini!” Kohaku dengan
panik berusaha menarik kedua temannya berdiri.
Monster yang
terlempar tadi kesadarannya sudah kembali, dia membuka mulutnya dan mengaum
keras. Suara itu dapat membuat siapapun yang tidak pernah melihat monster akan
ketakutan. Dari mulut monster itu, keluar satu… dua… bahkan tiga monster
setinggi kotak pos. Monster-monster kecil itu berteriak dengan nyaringnya.
Ketiga manusia
yang baru sempat berdiri, semakin ketakutan ketika melihat pemandangan
didepannya. Tanpa berpikir panjang, Itsuki langsung menarik kedua temannya
lari.
Namun,
monster-monster kecil tadi ternyata lebih lincah dari yang mereka pikirkan. Dalam
sekejap, monster-monster berbentuk singa dengan bulu hitam tersebut sudah
menyusul ketiga sahabat itu.
Salah satu
monster kecil itu menarik lengan pakaian gadis berambut merah salmon yang
sedang berlari tadi. Kohaku sendiri kontan menjerit.
“KOHAKU!” Itsuki
berusaha menahan tangan Kohaku. Sayangnya, monster yang lain mencakar tangan
pria itu. “AAH!” Dengan refleks, dia melepaskan pegangannya pada gadis itu.
Darah segar mengalir dari lukanya.
Monster yang
berhasil menarik Kohaku, langsung menyeret gadis itu kembali ke induknya. Dua
monster yang lain berusaha menangkap Itsuki dan Hinata yang kerap menghindar,
seraya memikirkan bagaimana cara menyelamatkan temannya yang sudah tertangkap.
“Ahk!” Kohaku
berusaha berdiri, namun monster itu menyeretnya dengan kasar dan cepat,
sehingga dia kesulitan untuk melawan. Dia memejamkan matanya, dikepalanya dia
memikirkan nasib kedua temannya. Apakah mereka bertiga akan mati disini?
Dengan sekali
sambaran, tubuh Kohaku terbanting di tanah yang lapang. Anak-anak dari monster
singa tadi sudah menahan tubuhnya, taring berkilauan di mulut berliur mereka
siap merobek dan mengoyak daging gadis itu hingga serpihan kecil. Kilasan
memori –memori bahagia Kohaku pun terbayang di kepalanya; ia sudah siap mati.
CTARRR
GRIIIIK
Tiba-tiba ada
suara petir yang memecahkan keheningan malam, disusul dengan jeritan kesakitan
dari salah-satu monster kecil.
Kohaku merasa
badannya berhenti diseret, ketika membuka matanya, dia melihat monster yang
tadi menyeretnya sudah terbakar hangus disebelahnya. Ketika mengadahkan
wajahnya, dia mendapati sesosok pria berambut hitam halus, dengan pita merah
terikat longgar di leher jenjangnya. Apakah ia salah satu dari
senpai-senpainya yang mempunyai kekuatan aneh lagi?
Seekor burung
gagak datang dan hinggap di pundak pria tersebut. Pria itu menatap Kohaku
dengan iris kuningnya, mengirimkan perasaan dingin ke sekujur tubuh gadis
malang itu.
Belum sempat Kohaku
sadar dari keterkejutannya, tiba-tiba dia mendengar suara rebut dari arah
belakangnya, suara tersebut bercampur dengan suara kedua temannya. Dia segera
menoleh ke belakang, dan melihat kobaran api yang cukup besar.
“Itsuki! Hinata!”
Mengabaikan pria yang baru saja menolongnya, Kohaku berdiri dan berlari ke arah
kobaran api tersebut, berusaha mencari kedua temannya.
Namun, gadis itu
mendapati sosok pria dengan rambut merah menyala yang terlihat sedang asik
mengendalikan api didepannya, menghanguskan dua monster kecil sekaligus.
“Ahahahahahaha!
Terlalu mudah!” Teriak pria itu dengan sombongnya. Kedua lengannya
terlihat seperti terbakar saat ia menembakkan bola-bola api kearah
monster-monster tadi.
Kohaku sudah
tidak terlalu kaget lagi melihat pemandangan ini, apalagi setelah melihat
monster menjijikkan yang menyerangnya. Dia dapat melihat kalau pria berambut
merah itu menolong kedua temannya, saat ini Itsuki terlihat masih memegangi
tangan Hinata yang wajahnya masih sangat pucat. Kedua pria itu ekspresinya
menjadi lega begitu melihat Kohaku yang baik-baik saja.
Tiba-tiba,
terdengar lagi suara auman yang sama. Monster induk tadi kembali membuka
mulutnya dan mengeluarkan lebih banyak lagi monster kecil seperti tadi.
Pria dengan rambut
hitam tadi berdecak malas, “Muncul
lagi, eh?” Dia beralih kepada pria dengan rambut merah dibelakangnya. “Oi,
Uno…”
“Ada apa,
Quattro? UWA! Kenapa semakin banyak?!” Ujarnya terkejut melihat makin banyak
monster kecil yang bermunculan dan mengelilingi mereka.
“Merepotkan...” Ucap Quattro singkat sambil
mengacak-acak rambutnya malas, bibirnya terlihat membentuk sebuah
senyuman licik. “Kakek-kakek
brengsek, bukannya malam ini sudah
ada petugas? ” Pria itu mengarahkan
tangannya ke induk monster tersebut. Tiba-tiba saja dari seluruh lengannya
muncul aliran listrik yang berkumpul di telapaknya membentuk sebuah bola
listrik.
CTARR
Sialnya, serangan yang dia keluarkan tidak mengenai
induk monster—anak-anak dari monster itu melindungi induknya.
Setelah melihat
apa yang diakukan rekannya, pria yang dipanggil Uno mendecakkan lidahnya, lalu
menoleh kearah ketiga murid baru yang ada di dekatnya bergantian. “Oi,
anak-anak baru.” ujarnya dengan nada
sedikit sombong, melirik kearah rekan-rekannya yang sedang tidak sadarkan diri
setelah diserang monster-monster tersebut. “Kalian tidak mau berakhir
seperti mereka kan? Jangan sok berani dan carilah tempat berlindung.”
Ketiga sahabat tadi hanya mengangguk patuh dan langsung
berlindung dibalik sebuah batu besar. Uno tersenyum puas, lalu mengeluarkan
sebuah pemantik dari sakunya. Quattro tidak bergeming; kedua tangannya masih ia
letakkan di kedua saku celananya.
“Nah, langsung kita mulai saja pesta ini, ya?”
Bagaikan sebuah aba-aba, keokan gagak yang bertengger di
pundak Quattro pun memulai kembali pertarungan antara kedua ras itu. Mahluk
hitam tadi juga malah berlari kearah mereka dengan cakar terangkat seakan-akan
menantang. Angin musim semi yang biasanya bertiup semilir entah kenapa jadi
menusuk tulang.
“K-Kohaku… kau tidak apa-apa??” Hinata bertanya khawatir
pada sahabat gadisnya yang sedang bersender di batu besar tempat mereka
bersembunyi. Wajah Hinata yang bulat dan imut sekarang penuh dengan bekas tanah
dan goresan-goresan kecil.
Kohaku mengangguk pelan, tubuhnya bergetar hebat saat ia menyingkap
celana berbahan katun miliknya yang sudah basah dengan darah dan compang
camping akibat diseret tadi. Sebuah guratan panjang yang memenuhi sekitar ¾
paha kanan sampingnya langsung terlihat. Darah segar merembes keluar dari luka
tersebut. Oh, akan butuh jahitan yang cukup banyak untuk bisa menutup luka itu…
“Kohaku!! Ini bukan
‘tidak apa-apa’!” jerit Itsuki dengan wajah khawatir bercampur takut dan panik.
Gadis tadi malah meringis sambil terengah-engah.
“M-memangnya kalau aku mengeluh sakit, kalian bisa apa…?” ia mendesis kesakitan,
berusaha untuk menggerakan kakinya. Airmata membanjiri wajahnya yang kotor
dengan tanah.
Itsuki meninju bumi, sebagian dari dirinya menyesal tidak
pernah memperhatikan kelas P3K. “Sial!!
Kita tidak bisa meninggalkan Kohaku disini!”
Hinata menggigit bibirnya seraya duduk sambil memeluk
lututnya, gemetar. Kenapa semua ini harus terjadi pada mereka? Itsuki bodoh!
Seharusnya tadi mereka langsung kabur begitu mendengar suara-suara aneh
tersebut, tapi ia malah mencari asalnya! Beberapa laki-laki memang menembak
dulu baru berpikir! Sekarang lihat apa yang terjadi, mereka bertiga terjebak
didalam pertarungan supernatural diantara manusia dengan mahluk yang hanya
Tuhan yang tahu! Hinata berjanji pada dirinya sendiri akan memarahi Itsuki
habis-habisan jika mereka bisa keluar dari sini hidup-hidup!
DEG!!
Rasa sakit yang tajam tiba-tiba melanda dada kiri Hinata,
diikuti dengan pengelihatannya yang entah kenapa mengabur.
‘S-sial….’ Umpat pemuda beriris abu-abu muda itu,
mencengkram piyama di bagian dadanya. Untungnya hal itu tidak luput dari
pengelihatan kedua sahabatnya yang langsung mendekatinnya dengan raut wajah
khawatir.
“Hinata! Kau tidak apa-apa?!” Itsuki mencengkram pundak
Hinata, berusaha mendorongnya agar agak bersender. Kohaku hanya bisa melihat
dari jauh dengan luka di pahanya.
Tenggorokan Hinata yang tercekat hanya mampu menghasilkan
suara “Dada….ku…” yang serak.
Waktunya telah tiba….
Sebuah suara muncul di kepala Hinata yang berdengung
menyakitkan.
Sang Ratu telah memberikan berkahNya padamu…
‘E-eh??’
Pergunakanlah, dan sembuhkan segala penyakit di muka bumi ini.
‘I-Ini…’ Hinata
menggumam
Entah diberi anugerah apa oleh Tuhan, Hinata merasakan
sekujur tubuhnya menjadi sejuk dengan pusat dari kedua telapak tangannya. Rasa
sakit di bawah tulang belikatnya digantikan oleh munculnya sebuah tanda
berbentuk huruf ‘XII’. Tanpa pikir panjang—tidak, bahkan tanpa berpikir Hinata
langsung mendekati Kohaku dan menempelkan kedua tangannya di luka sobeknya.
“H-Hinata!” Itsuki sedikit membentak begitu melihat raut
wajah Kohaku yang sedikit kesakitan. “Apa yang kau lakukan?!”
Hinata tidak bergeming. “Lihat saja!!”
Setelah beberapa detik berlalu, Hinata pun membuka kedua
tangannya, memperlihatkan luka di paha Kohaku yang sudah tertutup rapat dan
nyaris sembuh. Ketiga sahabat itu—termasuk Hinata—melihatnya dengan takjub.
“B-Bagaimana bisa…?” gumam Hinata pada dirinya sendiri.
“Pikirkanlah nanti! Sekarang kita harus kabur!” seru Itsuki
girang.
Tanpa berbasa-basi, ketiga murid-murid baru itu berlari
meninggalkan tempat persembunyian mereka menuju ke arah mereka datang. Mereka
harus segera melaporkan hal ini kepada guru-guru dan mencari bala bantuan! Mana
bisa dua senior mereka bertarung melawan monster sebesar itu?
BRUAKK!!
Baru saja mereka akan memasuki hutan, tiba-tiba tubuh
guardian berambut merah menyala terlempar ke salah satu pohon besar di mulut
hutan. Pohon itu pun sedikit retak, padahal tubuh Uno sempat terpelanting
beberapa kali setelah menyentuh tanah sebelum benar-benar berhenti. Suara
tulang berderak tulang begitu memilukan
“?! K-KAU TIDAK APA-APA?!” Itsuki langsung menghampiri Uno.
Uno berusaha bangun, mengelap darah yang keluar dari
mulutnya. “Rakshasa sialan…”
Rakshasa? Apakah
istilah itu yang mereka pakai untuk menyebut monster aneh tadi?
Belum sempat Uno berdiri, Rakshasa tadi sudah menghampiri mereka. Tidak ada tanda-tanda
adanya Quattro ataupun gagaknya di sekitar mereka.
“S-Sial…” Uno mengumpat, menyalakan lagi pemantiknya yang
terlihat penyok. “Menyalalah, barang rongsokan!!”
Itsuki hanya bisa menatapi kaki Rakshasa yang sudah tepat berada diatas mereka, sekali lagi siap
meremukkan tulang-tulang di tubuh mereka hingga menjadi bubur. Uno masih
berupaya untuk menyalakan pemantiknya.
Tanpa aba-aba, kaki Rakshasa
tadi langsung saja menurun dengan kecepatan tinggi.
‘Disini!’ Itsuki
membatin, menutup matanya pasrah. ‘Disini
lah kematianku!’
Namun, yang terjadi malah hal lain.
“KOHAKU!! JANGAN!!” Itsuki menangkap jeritan Hinata.
Bukannya diinjak, kedua pemuda tadi merasakan sesuatu
mendorong mereka ke samping, jauh dari injakan Raksasha itu. Itsuki membuka matanya dan melihat sosok Kohaku yang
sedang berdiri dibawah kaki Rakshasa
tadi. Senyum menghiasi wajahnya.
“KOHAKU!!!” Itsuki berteriak mengeluarkan seluruh tenaganya.
BRAAAKK!
......Tunggu, ‘Braaak’?
Ketiga pemuda tadi mendongak, mendapati Rakshasa yang sedang kesakitan. Kakinya terlihat menyakitkan dengan
tanah dibawahnya yang mencuat dan menembus menjadi duri-duri tajam. Cairan
hitam terlihat mengalir turun di beberapa duri-duri. Namun bukan itu yang
mereka cari.
“Kohaku!!” Itsuki berusaha memanggil sambil melindungi
matanya dari debu yang berterbangan.
“D-Disini..” Terdengar suara lirih Kohaku.
Itsuki dan Hinata pun langsung mencari asal sumber suara
tadi, namun karena debu yang begitu tebal, mereka terpaksa menunggu sampai
kabutnya menipis. Tapi apa yang mereka saksikan berikutnya membuat mereka
terperangah, bahkan Uno sekalipun.
Didepan kaki Rakshasa
tadi, terlihat Kohaku yang duduk terengah-engah. Sebuah cahaya berpendar di
paha sampingnya dekat lutut berbentuk huruf ‘II’.
Bersyukurlah, sebab kau telah diselamatkan olehNya
Dengan ini kau dikaruniai sebagian dari kekuatan Bumi ini
Pergunakanlah dengan baik, bagaikan tanah yang menopang kehidupan.
“…Kau…” Uno terlihat agak bengong.
Belum sembuh dari pemandangan yang mereka saksikan barusan,
Quattro sudah datang lagi dengan aliran listrik di kedua tinjunya. Dengan
sekali lompatan dari salah satu cabang pohon terdekat, ia terbang sebelum
menembus tubuh Rakshasa tadi dengan
tinjunya. Tubuh yang terbelah tadi pun meledak, melemparkan potongan tubuh
gosong ke berbagai arah.
Mereka telah menang.
Atau setidaknya itulah apa yang ada di pikiran ketiga
sahabat tadi sebelum pingsan akibat kelelahan dan kelegaan yang luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar