Senin, 04 November 2013

Chapter 2

Disclaimer: SEVENTH HEAVEN belongs to Rejet. OCs belong to their respective owners
Rating: T (Tidak tetap)
Warning: OC, OOC, kesalahan dalam berkata-kata, dsb.

“H-Hei… Itsuki… apa kau yakin, ini jalan yang benar?” Hinata menelan ludah, jari-jarinya mencengkram kuat kaos milik Kohaku.

“Tenang sajalah, Hinata.” Itsuki berusaha meyakinkan sahabatnya yang agak penakut itu. “Aku ingat persis di sekitar sini ada lapangan terbuka.”

Kali ini, Kohaku angkat bicara. “Bukannya Shirogane-senpai sudah menegaskan, kalau kita dilarang berkeliaran di malam hari?” wajahnya masih menunjukkan gurat khawatir. “Mungkin sebaiknya kita kembali, Itsuki…”

“Eh? Aku tidak mendengarnya.” Balas Itsuki santai.

Ternyata selain kemana-mana bersama, ketiga sahabat ini semuanya mempunyai nyali yang lumayan besar—yah, setidaknya Itsuki. Padahal sudah jelas tertera di handbook kalau siswa-siswi dilarang berkeliaran di area sekolah selama jam malam berlangsung, tetapi Itsuki masih tetap bersikeras untuk melihat langit bertaburan bintang seperti yang biasa mereka lakukan di desa kampung halaman mereka.

Di desa mereka tinggal, mereka biasanya selalu merebahkan diri bertiga di padang rumput pada malam hari untuk melihat bintang, sambil berbagi cerita. Hari ini Itsuki memaksakan kedua sahabatnya itu, karena dia merasa hari ini mereka bertiga banyak tidak menghabiskan waktu bersama, sehingga rasanya wajib untuk berbagi cerita malam ini.

“N…Ne.. Itsuki… kamu yakin kita harus memasuki hutan?” Wajah Hinata semakin pucat, tangannya yang gemetar akibat suhu yang menusuk tulang dan ketakutan sudah mencapai kedua bahu Kohaku.

“Hutannya tipis kok, hanya beberapa meter, nanti akan ada lahan kosong yang cukup luas disebelah dojo panahan.” Itsuki membalas sambil mengarahkan senternya ke ujung jalan setapak yang dikelilingi hutan, tanpa pencahayaan sama sekali.

Melihat kondisi jalanan setapak tersebut, Kohaku ikut mencengkram jaket Itsuki. “M-memangnya tur tadi kamu sampai kesana?”

“Begitulah… tunggu… memangnya kalian tidak?” Kali ini Itsuki balik bertanya.

Kohaku menggeleng. “Seingatku, Nordheim-senpai mengatakan bahwa tour hanya dilakukan di sekolah. Untuk perkenalan klub, akan dilakukan pada hari terakhir MOS di acara student day.” Jawab gadis berambut merah salmon tersebut.

Raut wajah Itsuki yang tadinya sumringah langsung berubah bingung campur kaget. Ia berhenti di tempatnya dan menoleh kearah sahabat-sahabatnya yang mengekor.

“Be…benarkah? Lalu kenapa kami dibawa ke tempat sekre klub?”

“Nee… sudahlah, jangan mengobrol terus… aku tidak suka lama-lama ditempat seperti ini… seakan-akan… seperti ada yang akan melompat keluar dari pepohonan itu…” Hinata mencengkram bahu gadis didepannya dengan kuat. Pundak Kohaku langsung kaku.

“H-Hinata! Sakit…” rintihnya. Hinata kontan melonggarkan cengkramannya.

“G…gomen…”

“Yasudah, ayo kita segera kesana saja.” Itsuki langsung berjalan mengikuti jalan setapak memasuki hutan. Diikuti kedua sahabatnya yang saling berpegangan.

Grrrr…

Glek! Bulu punggung mereka langsung berdiri tegak.  “K…kalian dengar itu?” Hinata menoleh ke kanan dan kirinya yang hanya dipenuhi oleh kegelapan hutan.

“Aku… dengar…” Wajah Kohaku mendadak menjadi ikut pucat lalu berusaha menarik jaket Itsuki. “A-ayolah! Kita kembali saja!!”

Hinata ikut menyahut. “B-Benar, Itsuki!”

Sedangkan Itsuki malah mengarahkan senternya ke sekeliling mereka, berusaha mencari tahu sumber suara itu. “Suaranya dari arah sana!” Ujarnya bersemangat.

“I-Itsuki!!” desak Kohaku, memegangi tangan Hinata yang sudah berkeringat dingin. Namun
Itsuki tidak menghiraukan desakan gadis itu untuk segera kembali dan malah mengejar asal suara tersebut.

Kohaku dan Hinata hanya saling berpandangan sebelum berlari untuk mengejar Itsuki.

Begitu ketiganya sampai di lapangan terbuka tersebut, yang ada hanyalah tinggal hamparan padang rumput indah yang rusak oleh berbagai macam lubang dan kawah-kawah lebar. Bunga-bunga Sakura yang tadinya bertengger indah di pepohonan ceri sudah rontok, menyisakan hanya batang kayu cokelat gelap yang bercabang. Sungguh menyedihkan.

“A-apa…apaan?” Itsuki terbata-bata.

Lalu dari arah lain tiba-tiba terdengar suara dentuman yang keras. Cukup keras sehingga menggetarkan tanah pijakan ketiga sahabat tersebut. Agak jauh di tengah-tengah padang rumput yang porak poranda tersebut, terlihat sebuah siluet raksasa mengamuk dengan buasnya. Sinar rembulan yang awalnya tertutupi oleh awan menyinari mahluk raksasa itu, membuat wajah ketiga sahabat tersebut langsung berubah pucat.

Sebuah mahluk buas seukuran gedung lima lantai dengan struktur tubuh yang menyerupai gabungan antara sebuah singa dan manusia sedang memporak-porandakan pepohonan sakura yang menghalangi jalannya. Bulu berwarna hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya bagaikan sebuah mantel tebal yang siap melindungi tubuh penggunanya dari serangan apapun. Cakarnya yang berkilat diterpa sinar bulan merobek-robek batang pohon hingga menjadi serpihan-serpihan kecil diikuti dengan aumannya yang menggetarkan tanah.

Keringat dingin menetes dari dahi Kohaku. Bibirnya bergetar, tidak mampu membentuk ketakutannya hingga menjadi kata-kata. Tenggorokan Hinata yang tercekat hanya berhasil mengeluarkan suara yang terdengar seperti “Apa.”

Belum pulih dari kekagetan barusan, mereka menyaksikan lagi tiga buah siluet—yang untungnya seukuran manusia—melesat dikegelapan malam dan menyerang monster itu tanpa ampun. Satu diantaranya terlihat seperti seorang wanita dengan rambut yang diikat menyamping, dan sisanya merupakan dua pria dengan rambut yang sama-sama diikat tikus.

Tunggu. Itsuki seperti pernah melihat wanita itu. Malah setelah memicingkan matanya agar lebih terfokus, kedua laki-laki yang membantu wanita itu juga familiar. Jangan-jangan…

“Shirogane-senpai!” seru Itsuki

Benar saja, salah satu dari laki-laki tersebut menoleh dan memperlihatkan identitasnya yang ternyata merupakan Yuuri Shirogane. “?! K-Kau--?!”

Wanita tadi—yang Itsuki langsung kenali dari suaranya sebagai Tsukisa Murasaki menjerit “AWAS!!”

Tidak setengah-setengah lagi. Yuuri yang tidak memperhatikan gerak-gerik musuhnya langsung terlempar dengan kencang berkat tamparan dari mahluk buas tersebut. Tubuhnya langsung menabrak pepohonan di seberang bagaikan boomerang yang memotong pohon

“SETTE!!” seru pemuda satunya yang tampak seperti Mint Nordheim.

Dia berusaha menahan serangan monster tersebut, namun dengan sekali sapuan tangan besar monster itu Mint mendapatkan nasib yang sama seperti Yuuri.

Tsukisa sudah tidak memperhatikan sekelilingnya, hanya fokus menolong Yuuri yang terkapar. Mengambil kesempatan, monster tersebut alih-alih mengubah jalurnya dan malah menerkam kearah Tsukisa.

“S-SENPAI!!” Hinata berteriak, suaranya bergetar hebat. “AWAS DIBELAKANGMU!”

Gadis tadi bahkan tidak sempat menoleh sebelum cakar milik mahluk mengerikan itu mendarat di tubuhnya lagi yang langsung melesat kearah pepohonan tempat teman senasibnya ikut terkapar. Suara berderak yang ngilu memenuhi keheningan malam itu.

M-Murasaki-senpai!!”

Tiba-tiba, mata merah berkilatan milik monster tersebut bertemu dengan mata ungu terang milik Hinata yang sudah dibasahi oleh keringat dingin. Monster itu pun mendekati mereka bertiga, memiringkan wajahnya seakan memperhatikan sebuah mahluk berspesies baru. Ekornya mulai bergerak-gerak antusias

Itsuki melebarkan tangannya, seolah-olah ingin menjaga kedua sahabatnya yang berdiri ketakutan dibelakangnya.  “Jangan buat gerakan mendadak…”

Sayangnya, mahluk itu langsung melompat kearah mereka.

 “AAAH!”

Mereka bertiga melompat menghindari terjangan tiba-tiba dari mahluk berkulit tajam itu. Seperti tidak mengenal belas kasihan, monster tersebut langsung berusaha menerjang Hinata yang masih berusaha mengangkat badannya. Tanpa berpikir panjang, Itsuki langsung melompat ke arah Hinata. Dia mengangkat kedua tangannya untuk menahan serangan dari monster itu, walaupun dia tahu ini merupakan hal yang sia-sia. Sebentar lagi tangan raksasa monster itu akan meremukkan tubuh mereka berdua hingga terlihat seperti pancake merah menjijikan.

“J-JANGAN!” Kohaku berteriak dari kejauhan, dia belum sempat berdiri dari tempatnya.

WUUUUUUUSSSH

Tiba-tiba, angin musim semi yang awalnya sepoi-sepoi berubah drastis sehingga melempar monster itu ke arah pepohonan rimbun. Tunggu, apakah angin bisa bertiup sekencang itu?

Saat Itsuki membuka matanya, dia terkejut mendapati monster yang tadi hampir menyerangnya sudah terlempar. Tetapi dia langsung beralih ke Hinata.

“Hinata! Kamu tidak apa-apa?”

Hinata mengedipkan matanya beberapa kali, lalu menunjuk kearah rahang kanan belakang milik sahabat sekaligus penyelamatnya itu. “Itsuki… rahangmu… tadi… apa yang kau lakukan?”

“Aku? Apa yang…” tangan Itsuki otomatis langsung menyentuh area yang ditunjuk Hinata. Namun percuma, karena ia tidak bisa melihat bagaimana sebuah tanda berbentuk ‘XIV’ muncul dan menghilang setelah angin tadi bertiup.

“Itsuki! Hinata! Kalian tidak terluka kan?” Kohaku berlari mendekati mereka. Hinata hanya mengangguk gugup.

 “Ayo kita segera pergi dari sini!” Kohaku dengan panik berusaha menarik kedua temannya berdiri.

Monster yang terlempar tadi kesadarannya sudah kembali, dia membuka mulutnya dan mengaum keras. Suara itu dapat membuat siapapun yang tidak pernah melihat monster akan ketakutan. Dari mulut monster itu, keluar satu… dua… bahkan tiga monster setinggi kotak pos. Monster-monster kecil itu berteriak dengan nyaringnya.

Ketiga manusia yang baru sempat berdiri, semakin ketakutan ketika melihat pemandangan didepannya. Tanpa berpikir panjang, Itsuki langsung menarik kedua temannya lari.
Namun, monster-monster kecil tadi ternyata lebih lincah dari yang mereka pikirkan. Dalam sekejap, monster-monster berbentuk singa dengan bulu hitam tersebut sudah menyusul ketiga sahabat itu.

Salah satu monster kecil itu menarik lengan pakaian gadis berambut merah salmon yang sedang berlari tadi. Kohaku sendiri kontan menjerit.

“KOHAKU!” Itsuki berusaha menahan tangan Kohaku. Sayangnya, monster yang lain mencakar tangan pria itu. “AAH!” Dengan refleks, dia melepaskan pegangannya pada gadis itu. Darah segar mengalir dari lukanya.

Monster yang berhasil menarik Kohaku, langsung menyeret gadis itu kembali ke induknya. Dua monster yang lain berusaha menangkap Itsuki dan Hinata yang kerap menghindar, seraya memikirkan bagaimana cara menyelamatkan temannya yang sudah tertangkap.

“Ahk!” Kohaku berusaha berdiri, namun monster itu menyeretnya dengan kasar dan cepat, sehingga dia kesulitan untuk melawan. Dia memejamkan matanya, dikepalanya dia memikirkan nasib kedua temannya. Apakah mereka bertiga akan mati disini?
Dengan sekali sambaran, tubuh Kohaku terbanting di tanah yang lapang. Anak-anak dari monster singa tadi sudah menahan tubuhnya, taring berkilauan di mulut berliur mereka siap merobek dan mengoyak daging gadis itu hingga serpihan kecil. Kilasan memori –memori bahagia Kohaku pun terbayang di kepalanya; ia sudah siap mati.

CTARRR

GRIIIIK

Tiba-tiba ada suara petir yang memecahkan keheningan malam, disusul dengan jeritan kesakitan dari salah-satu monster kecil.

Kohaku merasa badannya berhenti diseret, ketika membuka matanya, dia melihat monster yang tadi menyeretnya sudah terbakar hangus disebelahnya. Ketika mengadahkan wajahnya, dia mendapati sesosok pria berambut hitam halus, dengan pita merah terikat longgar di leher jenjangnya. Apakah ia salah satu dari senpai-senpainya yang mempunyai kekuatan aneh lagi?

Seekor burung gagak datang dan hinggap di pundak pria tersebut. Pria itu menatap Kohaku dengan iris kuningnya, mengirimkan perasaan dingin ke sekujur tubuh gadis malang itu.

Belum sempat Kohaku sadar dari keterkejutannya, tiba-tiba dia mendengar suara rebut dari arah belakangnya, suara tersebut bercampur dengan suara kedua temannya. Dia segera menoleh ke belakang, dan melihat kobaran api yang cukup besar.

“Itsuki! Hinata!” Mengabaikan pria yang baru saja menolongnya, Kohaku berdiri dan berlari ke arah kobaran api tersebut, berusaha mencari kedua temannya.

Namun, gadis itu mendapati sosok pria dengan rambut merah menyala yang terlihat sedang asik mengendalikan api didepannya, menghanguskan dua monster kecil sekaligus.

“Ahahahahahaha! Terlalu mudah!” Teriak pria itu dengan sombongnya. Kedua lengannya terlihat seperti terbakar saat ia menembakkan bola-bola api kearah monster-monster tadi.

Kohaku sudah tidak terlalu kaget lagi melihat pemandangan ini, apalagi setelah melihat monster menjijikkan yang menyerangnya. Dia dapat melihat kalau pria berambut merah itu menolong kedua temannya, saat ini Itsuki terlihat masih memegangi tangan Hinata yang wajahnya masih sangat pucat. Kedua pria itu ekspresinya menjadi lega begitu melihat Kohaku yang baik-baik saja.

Tiba-tiba, terdengar lagi suara auman yang sama. Monster induk tadi kembali membuka mulutnya dan mengeluarkan lebih banyak lagi monster kecil seperti tadi.

Pria dengan rambut hitam tadi berdecak malas, “Muncul lagi, eh?” Dia beralih kepada pria dengan rambut merah dibelakangnya. “Oi, Uno…”

“Ada apa, Quattro? UWA! Kenapa semakin banyak?!” Ujarnya terkejut melihat makin banyak monster kecil yang bermunculan dan mengelilingi mereka.

Merepotkan...” Ucap Quattro singkat sambil mengacak-acak rambutnya malas, bibirnya terlihat membentuk sebuah senyuman licik. “Kakek-kakek brengsek, bukannya malam ini sudah ada petugas? ” Pria itu mengarahkan tangannya ke induk monster tersebut. Tiba-tiba saja dari seluruh lengannya muncul aliran listrik yang berkumpul di telapaknya membentuk sebuah bola listrik.

CTARR

Sialnya, serangan yang dia keluarkan tidak mengenai induk monsteranak-anak dari monster itu melindungi induknya.

Setelah melihat apa yang diakukan rekannya, pria yang dipanggil Uno mendecakkan lidahnya, lalu menoleh kearah ketiga murid baru yang ada di dekatnya bergantian. “Oi, anak-anak baru.” ujarnya dengan nada sedikit sombong, melirik kearah rekan-rekannya yang sedang tidak sadarkan diri setelah diserang monster-monster tersebut. “Kalian tidak mau berakhir seperti mereka kan? Jangan sok berani dan carilah tempat berlindung.”

Ketiga sahabat tadi hanya mengangguk patuh dan langsung berlindung dibalik sebuah batu besar. Uno tersenyum puas, lalu mengeluarkan sebuah pemantik dari sakunya. Quattro tidak bergeming; kedua tangannya masih ia letakkan di kedua saku celananya.

“Nah, langsung kita mulai saja pesta ini, ya?”

Bagaikan sebuah aba-aba, keokan gagak yang bertengger di pundak Quattro pun memulai kembali pertarungan antara kedua ras itu. Mahluk hitam tadi juga malah berlari kearah mereka dengan cakar terangkat seakan-akan menantang. Angin musim semi yang biasanya bertiup semilir entah kenapa jadi menusuk tulang.

“K-Kohaku… kau tidak apa-apa??” Hinata bertanya khawatir pada sahabat gadisnya yang sedang bersender di batu besar tempat mereka bersembunyi. Wajah Hinata yang bulat dan imut sekarang penuh dengan bekas tanah dan goresan-goresan kecil.

Kohaku mengangguk pelan, tubuhnya bergetar hebat saat ia menyingkap celana berbahan katun miliknya yang sudah basah dengan darah dan compang camping akibat diseret tadi. Sebuah guratan panjang yang memenuhi sekitar ¾ paha kanan sampingnya langsung terlihat. Darah segar merembes keluar dari luka tersebut. Oh, akan butuh jahitan yang cukup banyak untuk bisa menutup luka itu…

“Kohaku!! Ini  bukan ‘tidak apa-apa’!” jerit Itsuki dengan wajah khawatir bercampur takut dan panik.

Gadis tadi malah meringis sambil terengah-engah. “M-memangnya kalau aku mengeluh sakit, kalian bisa apa…?” ia mendesis kesakitan, berusaha untuk menggerakan kakinya. Airmata membanjiri wajahnya yang kotor dengan tanah.

Itsuki meninju bumi, sebagian dari dirinya menyesal tidak pernah  memperhatikan kelas P3K. “Sial!! Kita tidak bisa meninggalkan Kohaku disini!”

Hinata menggigit bibirnya seraya duduk sambil memeluk lututnya, gemetar. Kenapa semua ini harus terjadi pada mereka? Itsuki bodoh! Seharusnya tadi mereka langsung kabur begitu mendengar suara-suara aneh tersebut, tapi ia malah mencari asalnya! Beberapa laki-laki memang menembak dulu baru berpikir! Sekarang lihat apa yang terjadi, mereka bertiga terjebak didalam pertarungan supernatural diantara manusia dengan mahluk yang hanya Tuhan yang tahu! Hinata berjanji pada dirinya sendiri akan memarahi Itsuki habis-habisan jika mereka bisa keluar dari sini hidup-hidup!

DEG!!

Rasa sakit yang tajam tiba-tiba melanda dada kiri Hinata, diikuti dengan pengelihatannya yang entah kenapa mengabur.

S-sial….Umpat pemuda beriris abu-abu muda itu, mencengkram piyama di bagian dadanya. Untungnya hal itu tidak luput dari pengelihatan kedua sahabatnya yang langsung mendekatinnya dengan raut wajah khawatir.

“Hinata! Kau tidak apa-apa?!” Itsuki mencengkram pundak Hinata, berusaha mendorongnya agar agak bersender. Kohaku hanya bisa melihat dari jauh dengan luka di pahanya.

Tenggorokan Hinata yang tercekat hanya mampu menghasilkan suara “Dada….ku…” yang serak.
Waktunya telah tiba….

Sebuah suara muncul di kepala Hinata yang berdengung menyakitkan.

Sang Ratu telah memberikan berkahNya padamu…
E-eh??
Pergunakanlah, dan sembuhkan segala penyakit di muka bumi ini.

‘I-Ini…’ Hinata menggumam

Entah diberi anugerah apa oleh Tuhan, Hinata merasakan sekujur tubuhnya menjadi sejuk dengan pusat dari kedua telapak tangannya. Rasa sakit di bawah tulang belikatnya digantikan oleh munculnya sebuah tanda berbentuk huruf ‘XII’. Tanpa pikir panjang—tidak, bahkan tanpa berpikir Hinata langsung mendekati Kohaku dan menempelkan kedua tangannya di luka sobeknya.

“H-Hinata!” Itsuki sedikit membentak begitu melihat raut wajah Kohaku yang sedikit kesakitan. “Apa yang kau lakukan?!”

Hinata tidak bergeming. “Lihat saja!!”

Setelah beberapa detik berlalu, Hinata pun membuka kedua tangannya, memperlihatkan luka di paha Kohaku yang sudah tertutup rapat dan nyaris sembuh. Ketiga sahabat itu—termasuk Hinata—melihatnya dengan takjub.

“B-Bagaimana bisa…?” gumam Hinata pada dirinya sendiri.

“Pikirkanlah nanti! Sekarang kita harus kabur!” seru Itsuki girang.

Tanpa berbasa-basi, ketiga murid-murid baru itu berlari meninggalkan tempat persembunyian mereka menuju ke arah mereka datang. Mereka harus segera melaporkan hal ini kepada guru-guru dan mencari bala bantuan! Mana bisa dua senior mereka bertarung melawan monster sebesar itu?

BRUAKK!!

Baru saja mereka akan memasuki hutan, tiba-tiba tubuh guardian berambut merah menyala terlempar ke salah satu pohon besar di mulut hutan. Pohon itu pun sedikit retak, padahal tubuh Uno sempat terpelanting beberapa kali setelah menyentuh tanah sebelum benar-benar berhenti. Suara tulang berderak tulang begitu memilukan

“?! K-KAU TIDAK APA-APA?!” Itsuki langsung menghampiri Uno.

Uno berusaha bangun, mengelap darah yang keluar dari mulutnya. “Rakshasa sialan…”
Rakshasa? Apakah istilah itu yang mereka pakai untuk menyebut monster aneh tadi?

Belum sempat Uno berdiri, Rakshasa tadi sudah menghampiri mereka. Tidak ada tanda-tanda adanya Quattro ataupun gagaknya di sekitar mereka.

“S-Sial…” Uno mengumpat, menyalakan lagi pemantiknya yang terlihat penyok. “Menyalalah, barang rongsokan!!”

Itsuki hanya bisa menatapi kaki Rakshasa yang sudah tepat berada diatas mereka, sekali lagi siap meremukkan tulang-tulang di tubuh mereka hingga menjadi bubur. Uno masih berupaya untuk menyalakan pemantiknya.

Tanpa aba-aba, kaki Rakshasa tadi langsung saja menurun dengan kecepatan tinggi.

Disini!’ Itsuki membatin, menutup matanya pasrah. ‘Disini lah kematianku!

Namun, yang terjadi malah hal lain.

“KOHAKU!! JANGAN!!” Itsuki menangkap jeritan Hinata.

Bukannya diinjak, kedua pemuda tadi merasakan sesuatu mendorong mereka ke samping, jauh dari injakan Raksasha itu. Itsuki membuka matanya dan melihat sosok Kohaku yang sedang berdiri dibawah kaki Rakshasa tadi. Senyum menghiasi wajahnya.

“KOHAKU!!!” Itsuki berteriak mengeluarkan seluruh tenaganya.

BRAAAKK!

......Tunggu, ‘Braaak’?

Ketiga pemuda tadi mendongak, mendapati Rakshasa yang sedang kesakitan. Kakinya terlihat menyakitkan dengan tanah dibawahnya yang mencuat dan menembus menjadi duri-duri tajam. Cairan hitam terlihat mengalir turun di beberapa duri-duri. Namun bukan itu yang mereka cari.

“Kohaku!!” Itsuki berusaha memanggil sambil melindungi matanya dari debu yang berterbangan.

“D-Disini..” Terdengar suara lirih Kohaku.

Itsuki dan Hinata pun langsung mencari asal sumber suara tadi, namun karena debu yang begitu tebal, mereka terpaksa menunggu sampai kabutnya menipis. Tapi apa yang mereka saksikan berikutnya membuat mereka terperangah, bahkan Uno sekalipun.

Didepan kaki Rakshasa tadi, terlihat Kohaku yang duduk terengah-engah. Sebuah cahaya berpendar di paha sampingnya dekat lutut berbentuk huruf ‘II’.

Bersyukurlah, sebab kau telah diselamatkan olehNya

Dengan ini kau dikaruniai sebagian dari kekuatan Bumi ini

Pergunakanlah dengan baik, bagaikan tanah yang menopang kehidupan.

“…Kau…” Uno terlihat agak bengong.

Belum sembuh dari pemandangan yang mereka saksikan barusan, Quattro sudah datang lagi dengan aliran listrik di kedua tinjunya. Dengan sekali lompatan dari salah satu cabang pohon terdekat, ia terbang sebelum menembus tubuh Rakshasa tadi dengan tinjunya. Tubuh yang terbelah tadi pun meledak, melemparkan potongan tubuh gosong ke berbagai arah.

Mereka telah menang.

Atau setidaknya itulah apa yang ada di pikiran ketiga sahabat tadi sebelum pingsan akibat kelelahan dan kelegaan yang luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar