Sabtu, 02 November 2013

Chapter 1

Disclaimer: SEVENTH HEAVEN belongs to Rejet. OCS belong to their respective owners
Rating: T ( Tidak tetap)
Warning: 
OC, OOC, kesalahan dalam berkata-kata, dsb

Hari itu, Akademi Hiiragi terlihat ramai tidak seperti biasanya. Para siswa-siswi saling bercengkrama sembari berjalan memasuki gerbang utama menuju ke gedung Auditorium, sebuah gedung mewah berarsitektur eropa kuno yang bagaikan tidak pernah dimakan waktu, walaupun sudah berumur nyaris ratusan tahun; salah satu ciri khas lagi dari keunggulan Akademi Hiiragi. Bunga-bunga Sakura yang berterbangan ditiup angin seperti menambah efek dramatis di hari pertama semester baru. Yah, musim Semi memang musim yang cocok untuk memulai sesuatu yang baru.
Kohaku Sonomura berdiri di hadapan gerbang megah berpelitur emas tersebut, kagum dengan jumlah siswa-siswi yang memasuki area sekolah. Rambut merah salmon yang menjuntai hingga punggungnya terlihat agak berantakan akibat tertidur seharian di bis. Mata indigonya menyisiri sudut-sudut area gerbang utama akademi tersebut, kebingungan terlihat jelas didalamnya. Kohaku tahu betul sebagaimana populernya Akademi Hiiragi dengan tes masuknya yang luar biasa melelahkan itu, namun ia tidak menyangka akan ada siswa-siswi baru sebanyak ini.
….B-banyak juga ya..’ batin Kohaku sambil menelan ludah, wajahnya sedikit menunjukkan gurat kekhawatiran ‘….apa aku bisa bertahan di sekolah ini?
Belum pulih dari kekagumannya, gadis itu sudah dikagetkan lagi dengan sebuah tangan yang tiba-tiba mendarat di pundaknya. “Haku! Kok diam saja?”
Kohaku langsung menoleh kearah sahabat masa kecilnya itu. “I-Itsuki-kun! Jangan mengagetkanku seperti itu…”
Pria berpostur tinggi yang dipanggil Itsuki itu nyengir, lalu menarik tubuh mungil sahabat masa kecilnya itu kedalam pelukannya. “Hehehe… Habisnya Haku bengong seperti itu. Nanti dirasuki hantu lho~” godanya. Mata emasnya yang terlihat ramah itu sewarna dengan rambut pirang mudanya yang dibando kebelakang.
“….Itsuki-kun jahat.” Gumam Kohaku, sedikit kesal.
“Itsuki memang jahat…” Tiba-tiba sebuah suara menyahut, diikuti dengan munculnya seorang pemuda berambut putih. Wajah imutnya terlihat sedikit kusut. “Masa Itsuki meninggalkan aku sendirian diantara kerumunan seperti ini…”
Bukannya terlihat menyesal, Itsuki malah cengengesan. “Maaf, Hinata. Habisnya kan bahaya kalau Kohaku hilang. Nanti aku yang dibunuh oleh Seijuuro-san.”
Pemuda tadi—Hinata, hanya kembali cemberut.
Selama berpuluh-puluh tahun masa persahabatan mereka, Itsuki memang selalu bertingkah selayaknya kakak dari kedua sahabatnya itu. Sebaliknya, Hinata malah diperlakukan layaknya seorang adik. Jika diperhatikan dengan baik, hubungan mereka lebih seperti kakak-adik—mereka nyaris tidak terpisahkan.
Orang-orang di desa mereka juga sudah terbiasa melihat mereka bertiga kemana-mana selalu bersama; dimana ada Itsuki, pasti ada Kohaku dan Hinata, juga sebaliknya. Makanya sempat terjadi sedikit kegemparan saat Itsuki dan Hinata mendapat beasiswa untuk masuk ke Akademi Hiiragi tanpa Kohaku—walaupun akhirnya mereka berhasil meyakinkan ayah Kohaku untuk mengijinkan gadis itu bersekolah dengan mereka juga.
Setelah semuanya terdiam, Itsuki tiba-tiba merubah topik pembicaraan. “Hei hei.” Ujarnya sambil menunjuk papan pengumuman yang terletak agak jauh dari tempat mereka berdiri. “Daripada kalian cemberut seperti itu, lebih baik kita lihat pembagian kelas dan asramanya.”
Kohaku dan Hinata hanya mengangguk pelan, lalu mengekor dibelakang Itsuki.
Ketika mereka sampai dihadapan papan kayu itu—tentunya dengan susah payah menembus kerumunan siswa-siswi lain, Itsuki tidak membuang-buang waktu dan langsung membuntuti urutan nama-nama siswa dan siswi yang ada di kertas tersebut. Jarinya langsung berhenti saat ia mendapati namanya disalah satu baris dibawah kolom berwarna hijau dengan angka dan huruf yang membentuk kata ‘1-A’
“Ah! Aku di masuk kelas 1-A!” pemuda itu sedikit berseru. Jarinya lalu kembali sibuk lagi menyusuri nama-nama teman sekelasnya, berusaha mencari nama-nama sahabatnya dengan harapan mereka akan sekelas.
Dalam hati, mereka semua sangat gelisah mengenai pembagian kamarnya, karena mereka jarang sekali dipisahkan dan walaupun terpisah, pasti tidak lebih dari beberapa hari. Bagaimana jika mereka berbeda kelas? Walaupun kelasnya hanya dua, kemungkinan yang pasti adalah salah satu dari mereka akan sendirian.
“I-Itsuki-kun… tampaknya kita berbeda kelas…” Kohaku berkata dengan lirih. Itsuki masih keukeuh dan tetap menyusuri nama-nama teman sekelasnya berulang kali jikalau ia melewatkan sesuatu.
Sialnya, Kohaku benar. Hinata yang diam-diam memperhatikan daftar kelas menunjuk kolom bertuliskan ‘1-B’ langsung menunjuk kearah dua baris ditengah-tengah.
“Aku dan Kohaku di kelas 1-B!”
Wajah Itsuki yang tadinya penuh pengharapan pun berubah menjadi ekspresi kecewa. Pupuslah harapan Itsuki untuk bisa sekelas dengan Kohaku.
“…Sial… kenapa dipisah seperti ini sih.” Gerutunya.
“Mungkin karena para staf dan guru disini tahu mengenai persahabatan kita?” Kohaku berusaha menghibur ‘kakak’nya itu. “Mereka pikir kita tidak akan bisa konsentrasi jika kita semua sekelas…”
Hinata pun ikut angkat bicara. “Lagipula, Itsuki kan pintar. Siapa tahu Itsuki masuk kelas A karena isinya anak-anak pintar semua?”
Itsuki hanya tersenyum kecut.
Sebelum mereka bisa berkata apa-apa lagi, suara seorang pemuda tiba-tiba menggema di penjuru lokasi sekolah.
“Siswa siswi kelas 10 diharapkan untuk segera masuk ke auditorium karena briefing MOS akan segera dimulai.” Perintah seorang pemuda berambut biru terang denganmegaphonenya. Matanya yang sewarna dengan Itsuki mengawasi siswa-siswi yang sedang berada didepan papan pengumuman, seakan ingin berkata ‘cepat masuk atau kumakan kau’.
Para murid baru yang sudah memasuki auditorium, langsung membuat barisan sesuai dengan arahan anggota OSIS beraura pembunuh barusan.
“Barisan kelasku disana.” Ujar Itsuki sambil menunjuk barisan untuk kelas 1-A. Pandangan Kohaku dan Hinata pun mengikuti arah yang ditunjuk oleh Itsuki
“Berarti, barisan kelasku disebelahnya ya?” Kohaku balik bertanya.
“Kalau begitu, ayo kita segera ke barisan!” Hinata menyahut, menarik tangan Kohaku untuk segera bergerak. “Kalau tidak segera, bisa-bisa kita mendapat barisan belakang…”
“Baiklah kalau begitu, sampai nanti, Haku, Hinata.” Pria bertubuh tinggi itu melambaikan tangannya pada kedua rekannya.
“Jaa! Itsuki-kun! Nanti kita janjian bertemu lagi ya!” Ujar Hinata, sambil melambaikan tangannya. “Nee, Kohaku! Ayo kita juga ke barisan!”
Kohaku hanya meng-iya-kan ajakan Hinata, dan mereka segera bergabung di barisan kelasnya.
Beberapa menit kemudian, upacara dimulai. Sambutan dari berbagai pihak penting sekolah, tampil satu per-satu. Kepala sekolah dari Hiiragi Academy tampak sudah cukup tua, namun masih terlihat segar dan sehat. Beliau memberikan sambutan hangat kepada seluruh murid baru, dan sambutannya ditutup oleh tepuk tangan meriah dari seluruh auditorium.
Selain kepala sekolah, ketua OSIS juga memberikan sambutan kepada para murid baru. Ketua OSIS di Hiiragi Academy sudah menjabat selama dua tahun, hal ini dikarenakan prestasinya yang memang sangat membanggakan sekolah, sehingga semua pihak tidak keberatan dengan hal ini.
“Selamat pagi semuanya,” suara pemuda berambut hijau muda itu menggema diseluruh penjuru Auditorium. “Nama saya adalah Yuuri Shirogane, dan saya menjabat sebagai Ketua OSIS selama periode ini.”
Terdengar beberapa suara berbisik dari kalangan siswa-siswi baru.
“Jadi itu, ketua OSIS yang kakakmu bilang?”
“Ya. Katanya ia sudah menjabat selama dua periode berturut-turut.”
“Hah? Jangan bercanda kau—“
Suara deheman dari speaker set yang diletakkan di ujung-ujung ruangan langsung membuat mereka tutup mulut. Tampaknya selain berprestasi, Yuuri juga memiliki aura yang membuat orang-orang tidak berani berurusan dengannya.
Setelah merasa situasi sudah cukup hening, briefing kembali dilanjutkan.
“Nah, seperti yang sudah tertera di student handbook kalian yang sudah kami kirimkan via paket beserta segala tetek bengek yang lainnya, kita akan menjalani MOS selama dua hari terhitung dari hari ini. Saya harap kalian sudah mempersiapkan barang-barang yang sudah saya sebutkan di handbook tadi.”
Pemuda beriris kuning itu jeda sebentar, menarik napas pendek. “Dan sesuai jadwal yang sudah kami sosialisasikan via email, hari ini jadwal kita yakni berkeliling dan mengenal lebih jauh mengenai area-area sekolah. Pembagian asrama akan dilakukan besok, sehingga hari ini kalian akan menginap di auditorium untuk sementara waktu.”
Ucapan terakhir Yuuri langsung mengundang berbagai macam reaksi dari siswa-siswi, namun rata-rata menyuarakan ketidaksenangan mereka terhadap keputusan tersebut. Mereka memang sudah diberitahu mengenai soal itu, namun mereka tidak menyangka bahwa pihak sekolah dan OSIS akan serius. Populasi sekolah ini didominasi oleh anak-anak dari kalangan atas atau berdarah biru, mana mungkin mereka mau tidur sempit-sempitan?
Sementara suasana auditorium sedikit rebut dengan beberapa murid baru yang berbisik-bisik membicarakan masalah tidur di auditorium, Hinata terlihat ikut menyimak semua pembicaraan mereka.
“Nee, Kohaku …” Hinata mencolek gadis yang berdiri disebelahnya. “Menurutku… seburuk itukah tidur beramai-ramai…? Kenapa semuanya heboh seperti ini ya?” Ujarnya.
Kohaku hanya mengangkat bahu. “Mungkin di kota mereka sudah terbiasa tidur di ranjang…”
Suara tepukan tangan sebagai isyarat untuk diam terdengar dari arah podium. “Untuk acara pada hari itu angkatan kalian akan dibagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing akan dipimpin oleh seorang anggota OSIS.” Yuuri pun memberi isyarat agar para anggota OSIS yang duduk disamping podium berdiri.
“Berikut ini adalah para anggota OSIS periode sekarang.” Pemuda itu lalu menyerahkan mic ke rekannya yang berambut biru muda. Hinata dan Kohaku langsung mengenalinya sebagai pemuda beraura pembunuh—maksudnya, anggota OSIS yang menegur mereka tadi.
Si pembunuh—anggota OSIS yang diserahkan mic terdiam sebentar untuk memastikan bahwa tidak ada suara menyebalkan yang akan menganggu perkenalannya, lalu mulai membuka mulut. “Akira Kimishima, kelas 2-B. Wakil ketua OSIS.”
Beberapa siswa sedikit sweatdrop dengan perkenalan dari Akira yang begitu singkat.
Mic lalu diambil alih oleh seorang pemuda berwajah kebarat-baratan berparas cukup tampan dengan rambut cokelat susu.
“Mint Nordheim.” Ucap pemuda berambut cokelat tadi dengan aksen yang sedikit asing. “Saya dari kelas 3-B, dan menjabat sebagai SIE. Kedisiplinan.”
Siswa-siswi baru semakin sweatdrop.
“Baiklah~” Yuuri langsung mengambil lagi mic dari tangan rekannya. “Sekarang tolong berkumpulah dengan anggota OSIS yang sudah kami perkenalkan tadi.”
“Untuk kelompoknya, akan saya bacakan sekarang.”
Glek. Perasaan tidak mengenakkan langsung menyelimuti hati anak-anak baru kita ini.
 oOoOoOo
Beberapa menit kemudian, semua murid sudah memasuki kelompoknya masing-masing. Setiap kelompok akan melewati rute yang berbeda dalam tour keliling. Kelompok yang pertama bergerak adalah kelompok yang dipimpin oleh ketua OSIS, mereka mulai berkeliling dari sisi luar sekolah.
…Dan sialnya, ketiga sahabat ini dipisah lagi. Itsuki dengan rombongan ketua OSIS yaitu Yuuri, Hinata dengan Akira, dan Kohaku dengan Mint. Bahkan ketiganya sempat saling bertukar pandangan pasrah saat mereka dibawa keluar auditorium.
“Tujuan pertama kita adalah lingkungan klub, kita akan melewati…” Yuuri menoleh ke arah sebelah kirinya yang merupakan lapangan luas, dimana didalamnya terdapat beberapa murid yang sedang berlatih baseball. Dia kembali berbicara melaluispeakerphone, “Di sebelah kiri, merupakan lapangan baseball, di sebelahnya lagi, lapangan sepak bola… kalian mulai bisa menentukan akan memasuki klub apa nanti.”
Kelompok itu terus berjalan ke arah sekretariat, dimana letak ruangan berbagai klub sekolah. Murid-murid juga mulai berdiskusi dengan teman-teman mereka mengenai klub yang kira-kira akan mereka masuki. Setiap ada murid yang melihat kelompok yang dipimpin oleh Yuuri, mereka akan selalu menyapa ramah ketua OSIS tersebut. Terlihat sekali bahwa sang ketua OSIS memang populer di semua kalangan murid.
“Ano… senpai… apa kita diwajibkan masuk klub?” Tanya Itsuki tiba-tiba.
Yuuri menoleh ke arah murid baru yang lebih tinggi darinya itu. “Tidak wajib sebenarnya, hanya saja, kalian pasti akan bosan tinggal disini kalau tidak bergabung dengan klub… atau OSIS…” Dia menjawab dengan senyum yang ramah.
“Ah, begitu…” Itsuki terdiam dan berpikir, kira-kira kedua sahabatnya akan memilih klub apa?
“Kemudian ini, merupakan dojo tempat klub memanah.” Ujar Yuuri sambil menunjuk dengan kelima jarinya sebuah lapangan kecil, dengan dojo yang berarsitektur tradisional Jepang; pilar-pilar yang terbuat dari balok-balok kayu dengan lantai kayu yang beraroma segar, serta serambi terbuka dimana sasaran-sasaran ditempatkan.
Terlihat beberapa murid sedang berlatih memanah target di ujung lapangan tersebut, ketika ada panah yang berhasil mengenai targetnya, sontak para murid baru bertepuk tangan. Gadis yang menembakkan panah itu terkejut, karena tidak menyadari adanya rombongan murid baru tersebut. Wajahnya menjadi lebih terkejut lagi ketika melihat pria yang memimpin rombongan tersebut.
“Fufu… ‘kebetulan’ sekali…” Yuuri kembali mengangkat speakerphone yang dibawanya, dan bicara pada rombongan yang berdiri dibelakangnya. “Aku akan memperkenalkan ketua angkatan kelas 2,” dia membalikkan badannya ke arah dojo. “Ketua angkatan, bisa kemari sebentar?”
Gadis dengan mata ungu dan rambut hitam panjang yang diikat ponytail itu meletakkan busurnya, mengambil handuk kecil untuk mengelap keringatnya, kemudian berlari kecil menuju pria berambut hijau yang memanggilnya.
“Ada apa, Yuuri-san?” Ujarnya begitu sampai ke pagar kayu pendek yang membatasi lapangan di dojo dengan jalan utama. Dia menyapu pandangannya ke arah rombongan yang dibawa rekannya, dan langsung menyadari bahwa itu adalah rombongan murid baru.
Yuuri mematikan speakerphone-nya dan tersenyum ke arah gadis itu, “Sudah kubilang, panggil Yuuri saja.” Lalu dia menyalakan speakerphone-nya lagi. “Baiklah, orang ini merupakan ketua angkatan dari kelas 2 di tahun ini, bisa perkenalkan dirimu?” Dia kembali tersenyum kepada gadis disebelahnya, seraya memberikan speakerphone yang dipegangnya.
“Eh? Oh, baiklah.” Wajah gadis itu sedikit memerah, tetapi kemudian langsung mengambil speakerphone            yang diberikan, dan mulai berbicara pada rombongan murid baru. “Etto… namaku, Murasaki Tsukisa, dari kelas 2-B, juga merupakan ketua angkatan kelas 2. Apabila salah satu dari kalian ada yang berminat menjadi ketua angkatan, kalian bisa hubungi aku untuk mencari informasi. Yoroshiku!” Para murid baru langsung bertepuk tangan, Tsukisa mematikan speakerphone dan menyerahkannya kepada Yuuri. “Aku melakukan ini untuk murid baru, bukan untukmu.” Ujarnya sambil menyembunyikan wajahnya yang masih sedikit bersemu.
“Iya aku tahu.” Yuuri tersenyum dan menerima speakerphone yang diberikan, dan menyalakannya lagi. “Baiklah, kalian yang mau ke kamar mandi, atau istirahat sebentar, aku berikan waktu 10 menit dari sekarang.”
Para murid langsung berhamburan, mencari tempat yang nyaman untuk duduk dan istiirahat. Beberapa murid mencari letak kamar mandi.
“Tsukichan, kau sudah dari pagi disini?” Tanya Yuuri pada Tsukisa yang baru menunjukkan letak kamar mandi kepada murid baru.
“S…sudah kubilang! Jangan panggil aku seperti itu!” Wajah Tsukisa kembali memerah. “Aku datang pagi tadi sekalian merapihkan dojo.” Dia menjawab sambil mundur perlahan dan menghindari tatapan dari pria didepannya.
Yuuri yang menyadari gerakan gadis itu, segera bertanya. “Kenapa kamu berjalan mundur menjauhiku?”
“Eh?” Wajah gadis itu semakin memerah. “A…aku kan sedang ditengah latihan! Jadi… masih… bau… keringat…” Ujarnya pelan. Yuuri langsung tertawa mendengar pernyataan Tsukisa. “J…jangan tertawa! I…ini tidak lucu!”
“Maaf, maaf… hanya saja, caramu mengucapkannya itu lucu sekali…” Yuuri menahan tawanya.
Wajah Tsukisa semakin memerah. “Terserah apa katamu! Aku akan kembali latihan!” Gadis itu langsung membalikkan badannya dan kembali ke dojo.
Namun gadis itu tidak terlihat melanjutkan latihannya lagi, bahkan sampai Yuuri pergi membawa rombongan murid baru melanjutkan tour-nya.
oOoOoOo
Sementara itu di sisi lain, rombongan yang dipandu oleh komite disiplin OSIS telah memasuki gedung sekolah…
“Di lantai ini terdapat ruang guru, ruang arsip, ruang loker, ruang UKS, …” Mint terus menjelaskan dengan speakerphone, sambil berjalan memimpin rombongannya.
“Kemudian ini ruang seni, tempat yang–” Begitu membuka pintu, kata-katanya terputus saat mendapati sosok seorang wanita yang tertidur dengan pulasnya di pojok kelas.
Para murid baru langsung berbisik satu sama lain begitu melihat sosok wanita dengan rambut pendek berwarna biru tua yang tertidur itu. Urat marah kontan muncul di pelipis sang komite kedisiplinan, dia mematikan speakerphone yang dibawanya, kemudian berjalan dengan tegas ke arah gadis yang sedang tertidur itu.
“Kihorazu Ranze! Buka matamu!” seru Mint sambil menggoyangkan bahu gadis itu dengan kasar.
Gadis yang bernama Ranze itu mengernyitkan dahinya, lalu membuka matanya malas dan menyingkirkan tangan Mint dari bahunya. “Jangan sentuh aku seenaknya.” Dia mengusap kedua matanya sambil menguap lebar. “Ada apa?” Tanyanya malas.
“Kalau memang kamu tidak memiliki urusan lagi disekolah, tidurlah di asramamu sendiri. Jangan berikan contoh yang tidak baik kepada murid baru.” Mint berkata dengan dingin.
“Murid baru?” Ranze mengintip ke belakang tubuh Mint dan mata hijaunya mendapati gerombolan murid yang sibuk mengobrol satu-sama lain sambil sesekali melirik ke arahnya. “Ah, aku lupa hari ini Masa Orientasi Sekolah ya.”
“Kalau begitu, cepatlah keluar dari sini dan jangan pindah tidur di tempat lain. Aku tidak ingin melihatmu memberikan contoh tidak baik di awal tahun pelajaran LAGI.” Ujar Mint dengan nada sarkastik. Berurusan dengan siswa-siswi baru ini sudah cukup menguras energinya dan berargumen dengan Ranze adalah hal terakhir yang Mint ingin lakukan sekarang.
“Heh? LAGI?” Kali ini Ranze beranjak dari kursinya. “Aku menjadi contoh atau tidak itu bukan urusanku, tapi urusan mereka!” Ujarnya kesal sambil menunjuk gerombolan murid baru. “Aku akan jadi contoh buruk kalau mereka mengikutiku, kalau mereka tidak mengikutiku, aku tidak akan menjadi contoh yang buruk kan?!”
Mint membelalakkan matanya terkejut. “Dari awal, kalau kau tidak memberi contoh duluan, mereka tidak akan ada yang mengikutimu! Apalagi sekarang kau sudah murid kelas 3! Jadilah contoh yang baik untuk mereka!”
Ranze menatap sinis pria didepannya. “Aku akan tidur di tempat lain, minggir!” Ranze mendorong Mint kasar, dan pergi melalui pintu yang tidak terhalang oleh rombongan murid yang dibawa Mint.
“Ck, orang itu…” Mint kembali berpaling ke arah para murid baru yang sedang ber-sweatdrop ria. “Kalian tidak perlu mencontoh tindakan siswi yang tadi kalian lihat, dia hanya salah satu murid ‘gagal’ yang tidak punya harapan untuk lulus.”
Rombongan itu terdiam canggung melihat perdebatan kedua senior mereka tadi. Berusaha memecah keheningan, Kohaku pun mengangkat tangan. “N-Nordheim-senpai!”
Mint menoleh kearah gadis tersebut setelah rombongan berusaha menyingkir untuk memberi Kohaku ruang. “Hm? ada apa?”
“a-ano…” Kohaku sedikit menunduk. “…a-apakah kita akan melihat-lihat ruangan klub?”
Ruangan klub? Mint mengangkat alisnya. “Sudah tertera di jadwal bukan? Pengenalan klub dan semacamnya dilakukan pada hari terakhir MOS.”
“A-ah… baiklah. T-terimakasih, senpai…” gadis itu langsung menunduk dan kembali ke tempat awalnya.
Anggota OSIS tersebut mengangguk singkat. “Ada pertanyaan lagi?”  tanyanya untuk memastikan tidak ada lagi suara yang menganggu tur sekolahnya. Begitu melihat suasana hening, pemuda itu pun menyalakan speakerphone yang dibawanya, “Kita lanjutkan tour-nya.”
oOoOoOo
Akira sangat membenci berjalan-jalan mengitari gedung sekolah ini. Menurutnya bangunannya terlalu luas dan rumit sehingga mudah saja tersesat didalam situ. Bahkan dirinya yang sudah bersekolah selama kurang lebih dua tahun masih suka tersesat kalau berjalan-jalan sendiri.
Dan sekarang, bertambah lagi satu hal yang ia benci. Antara lain anak baru yang bernama lengkap Hinata Tachibana ini.
Apakah Tuhan sebegitu bencinya pada dirinya hingga ia kerap dikirimi cobaan?
“Nee~ Senpai~ Hinata lelah…” ucap Hinata dengan nada yang sedikit merengek.
“Memangnya aku peduli?” Akira lebih memilih untuk menyimpan tenaga.
“Senpaaaaa!!” pemuda berparas imut itu merengek lagi. “Jangan tinggalkan Hinata seperti itu!”
“Kau yang lamban, bodoh.”
Dan begitulah pembicaraan Akira dengan Hinata selama tur keliling sekolah itu. Mungkin rombongan mereka sudah nyaris dehidrasi karena acap kali bersweatdrop ria melihat tingkah laku senior dan teman seangkatan mereka yang seakan sudah kenal selama bertahun-tahun. Akira sendiri sebenarnya sudah biasa menghadapi tingkah laku siswa-siswi yang manja, namun Hinata lebih… agresif (?) dibandingkan siswa-siswi yang pernah ia hadapi.
Tapi akhirnya, setelah waktu tiga jam yang bagaikan tiga tahun untuk Akira, rombongan mereka sudah mencapai titik pemberhentian terakhir mereka dan akan segera menuju auditorium untuk makan malam.
Alamak, akhirnya penyiksaanku selesai juga.’ Batin pemuda berambut biru langit tersebut. ‘Tunggu aku, kartu poker kesayanganku.
Puk! Akira pun merasakan tarikan lemah di blazer almamaternya. Mata beriris kuning keemasannya langsung menoleh untuk melihat sumber bencana—Hinata dengan ekspresi memohonnya.
“…Senpai.. aku harus ke toilet…”
Glek. Anak ini lagi.
Akira memutar bola matanya. “Ya cepatlah atau akan ku tinggal.”
“….Hinata takut sendiri…” anak baru itu sedikit menunduk.
……ekspresi itu lagi. Sial. “…Apa boleh buat.” desah Akira kesal, lalu menoleh kearah rombongan yang seharusnya ia  pimpin. “Kalian tunggu disini sebentar. Atau ada yang mau ke toilet?”
Para siswa-siswi baru saling bertatapan, lalu menggeleng pelan. Akira mendesah lagi.
“Ya sudah. Cepat atau kutinggal, Tachibana.” Akira meletakkan speakerphonenya dan langsung berjalan menuju toilet terdekat.
“U-UWAA! Tunggu Hinata, senpai!”
Begitu kedua pemuda sampai di toilet, Hinata langsung melesat memasuki salah satu bilik tanpa basa-basi. Akira hanya menunggu didepan pintu toilet sembari memperhatikan langit jingga tanda sore hari. Koridor yang gelap membuat suasana sekolah entah mengapa semakin mencekam.
Pemuda berambut biru itupun bersender di dinding, menunduk mencubit area diantara kedua matanya. Sial. Ternyata aktifitas kemarin malam sebegitu melelahkannya untuk tubuhnya sehingga ia bisa mengantuk seperti itu. Selama ia bertugas, tidak pernah ia sampai kelelahan seperti ini.
Mungkin ramalan kepala sekolah memang benar. Hari itu semakin mendekat.
Tiba-tiba, wakil ketua OSIS itu merasakan kehadiran seseorang yang asing dan mengancam. Ya. Mengancam. Hinata memang menyebalkan, tetapi auranya tidak sekasar itu.
“Siapa disana?” serunya dengan lantang. Matanya seakan menanti sebuah figur yang akan muncul dari koridor ujung.
Namun tanpa disangka, yang muncul malah seorang pemuda berperawakan tinggi dengan rambut cokelat kemerahan yang diikat tinggi. Akira langsung mengenalinya sebagai Isanoshi Mitsuuka, teman sebangkunya di kelas satu dulu.
“Hei. Ini aku, Kimishima.” Isanoshi mengangkat kedua tangannya di udara dengan ekspresi datar.
Akira langsung menghela napas lega. “..kupikir siapa. Sedang apa kau disini, Mitsuuka?”
Iris biru tua milik Isanoshi terlihat sedikit mengecil. “A-Ah? Aku kira tahun ajaran baru dimulai hari ini.” Lalu mengangkat tas ranselnya yang terlihat penuh.
Akira mengangguk sekali tanda mengerti.
“Yasudah. Jangan terlalu lama berkeliaran.”
Isanoshi tersenyum simpul. “Jaa, Kimishima.”
Tidak lama setelah Isanoshi meninggalkan wakil ketua OSIS tersebut, Hinata sudah selesai melakukan ‘urusan’nya.
“Senpai~ Maaf sudah menunggu lama-lama~” ujar Hinata riang.
Akira hanya tersenyum menyeramkan. “Karena telah membuatku menunggu, besok kau bertugas membangunkan seluruh rekan angkatanmu.”
“A-APA?!”
oOoOoOo
Malam hari pun tiba. Kebanyakan anak-anak baru sudah tertidur lelap karena kelelahan akibat berkeliling gedung sekolah yang luasnya sedemikian rupa selama MOS tadi, walaupun ada beberapa anak-anak yang masih semangat terbangun entah melakukan apa. Keadaan diluar pun sudah sangat sepi, lampu-lampu selain lampu jalanan yang dimatikan membuat suasana diluar semakin menyeramkan untuk yang masih beraktifitas.
Namun, tidak ada yang dapat menghentikan para pemuda-pemudi ini dari melakukan tugas malamnya.
“Ngh. Apakah perlu melakukan ronda malam seperti ini?” seorang gadis berambut cokelat tua mengeluh seraya melompat-lompat dari dahan ke dahan. Iris ungunya bagaikan menyala diterpa cahaya bulan. “Aku pikir dua orang sudah cukup jika hanya hanya seperti ini.”
Pemuda berambut hijau yang sedari tadi mengikutinya hanya tertawa. “Ayolah Diciassette. Kemarin kan kau sudah membolos?”
Gadis yang dipanggil Diciasette tersebut sedikit cemberut, pipinya mengembung
“Sette sendiri juga bolos kan? Kemarin Decimo kelelahan sampai langsung ambruk, tahu.”
Sette tertawa miris.
“Yah, kan sekarang dengan adanya siswa-siswi baru, kita harus meningkatkan kewaspadaan kita.” Ujar pemuda tersebut berusaha beralasan.
Tanpa disadari keduanya, seorang pemuda berambut cokelat susu muncul dibelakang mereka.
“Sore, Sette dan Diciassette.” sapa Nove kalem.
Sette dan Diciasette mengangguk. “Sore, Nove~”
Nove pun kembali mengalihkan pandangannya ke depan. “Hari ini Decimo tidak bisa bertugas. Jadi aku yang menggantikannya.”
“He? Ada apa dengan Decimo?” Sette bertanya, sedikit khawatir.
Pemuda berambut cokelat tersebut hanya mengangkat bahu. “Kelelahan, mungkin.”
“Hei. Lihat itu!” Diciasette tiba-tiba menunjuk kearah sebuah kegaduhan di salah satu lapangan terbuka diantara hutan belantara tersebut dengan jari telunjuknya. Benar saja, sebuah monster raksasa pun mengamuk memporak-porandakan lapangan tersebut.
Sette mengeluarkan senyumnya—yang menurut orang-orang menyeramkan–seraya tertawa. “Nfufufufu~ Waktu yang sungguh tepat.”
Tanpa aba-aba, ketiganya langsung melesat kearah sumber masalah dengan bersamaan. Mereka lebih baik menuntaskan masalah sebesar apapun itu sekarang dibanding mengulur-ngulur waktu.
Tapi, tanpa mereka ketahui, mereka bukanlah satu-satunya yang bergerak menuju medan peperangan tersebut; ada tiga figur lain yang sedang berjalan diantara pepohonan yang rimbun.
Dan ketiganya adalah siswa-siswi baru.
————————————————————————————————————————-
A.N: ya kira-kira segitu dulu ya :3 maaf kalau kesannya ada yang nggak sreg karena author nulisnya ngebut saking banyaknya yang kepo x3 silahkan tinggalkan saran/kritik di komentar kalian semua~ Lumen, out!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar